Setia di Balik Kemudi: Kisah Cut Di, Sopir Labi-labi Seulimum
Beberapa dari kita tentunya pernah menaiki angkutan umum sejenis Labi-labi yang hilir mudik membawa penumpang dari simpang jalan ke simpang jalan lainnya. Bahkan dari tiap sudut kampung hingga ke sudut perkotaan. Hari itu, Tarmizi yang sering disapa Cut Di, supir Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sedang duduk menunggu penumpang sembari ia juga mengobrol bersama rekan-rekannya sesama sopir Labi-labi.
Wajahnya tampak teduh, ia menyalami dan mempersilakan duduk. Dari Terminal Keudah, Kota Banda Aceh, Cut Di bercerita ia sudah lama menjadi sopir Labi-labi. Dimulai tahun 2000 hingga tahun 2004, ia menyupiri mobil milik orang lain.
“Alhamdulillah sejak tahun 2005 hingga sekarang, saya menyupiri mobil Labi-labi milik sendiri,” sebutnya.
Mobil bercorak putih dengan kursi dalamnya berwarna hitam, ia beli baru dari hasil pekerjaannya selama ini. Setiap hari, Cut Di sudah beranjak dari Pasar Seulimum, Aceh Besar mulai pukul 07.00 WIB dan tiba di Keudah, Banda Aceh pada pukul 08.30 WIB. Biasanya ia melayani penumpang yang beragam, misalnya pelajar, pekerja kantoran, masyarakat, dan sebagainya. Oleh teman-temannya, Cut Di saat ini ditunjuk sebagai Penasehat di Persatuan Supir Labi-labi Seulimum (PSL2S). Dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai struktur lengkap sebagai entitas yang menyatukan mereka dalam komunitasnya. Sebab dalam perkumpulan ini, mereka mempunyai iuran wajib hingga mengatur pola kerja.
“Misalnya begini, semua supir lintasan kami wajib berkumpul di sini (Terminal Keudah), sehingga ada jarak sekitar 10-15 menit bagi tiap Labi-labi yang akan berangkat kembali,” sebut ayah empat anak ini.
Selama 25 tahun bekerja sebagai supir Labi-labi, menurutnya Labi-labi ini sudah ada di Aceh sejak era awal tahun 80-an. Sebutan Labi-labi dikarenakan jalanya lebih pelan, sehingga masyarakat teringat kepada reptil Labi-labi yang masih satu ordo dengan kura-kura. Anggapan ini pun bersebab, karena pengemudi mobil Labi-labi pada masa itu menunggu masyarakat di tiap persimpangan jalan. Apalagi, pada tahun-tahun tersebut belum banyak angkutan umum yang melayani masyarakat.
Cut Di juga melanjutkan, setiap mobil Labi-labi awalnya berbentuk pick-up, lalu dilakukan penyesuaian agar dapat menjadi angkutan umum. Di Banda Aceh sendiri, terdapat beberapa bengkel yang bisa menyesuaikannya, seperti di kawasan Lamteumen dan Peunayong. Hingga saat ini, mobil Labi-labi yang melayani trayek ini berjumlah sekitar 50-an.
“Namun terkadang tidak berjalan setiap hari, dikarenakan sedang diperbaiki, sopirnya sakit, atau yang sedang melayani sewa khusus misalnya membawa rombongan pengantin dan lainnya.”
Meskipun demikian, Cut Di berpendapat bahwa kehadiran Trans Koetaradja merupakan kebijakan pemerintah, maka perlu untuk didukung. Tentunya ada masyarakat yang mungkin lebih membutuhkan baik untuk aktivitas sekolah dan aktivitas sehari-hari.
“Kehadiran bus Trans Koetradja ini perlu kita lihat dari berbagai sudut. Tentunya ada masyarakat mungkin lebih membutuhkannya untuk aktivitas mereka,” pungkas Cut Di.
Sebuah stiker terpasang di dalam tempat duduk penumpang Lab-labi. Di sana terpampang tarif Labi-labi trayek Seulimum – Banda Aceh sebesar Rp. 20.000. Pada trayek ini melayani pula ke Lambaro, Sibreh, Indrapuri, Lampisang, dan sekitarnya.(*)
Baca tulisan lainnya:
- Raga Maulidin Menjaga Halte Trans Koetaradja
- Panorama Menggamat yang Memikat
- Abdul Halim, Kelola Bank Sampah Jadi Upaya Bersama Selamatkan Bumi