Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 November 2024

Panorama Menggamat yang Memikat

Rabu, November 13, 2024



Barangkali kita pernah bertanya, apakah masih ada daerah di Aceh yang belum bisa diakses dan ditempuh melalui jalur darat? Maka jawabannya ada. Salah satunya adalah Gampong Alue Keujruen, terletak di Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan. Jika menempuh rute titik perjalanan dari pusat ibukota provinsi, menuju ke Alue Keujruen dapat ditempuh melalui jalur pantai Barat-Selatan Aceh melewati pegunungan dan perbukitan.


Jalanan yang berkelok ini amatlah terasa saat di kawasan Kabupaten Aceh Jaya, tiga gunung akan kita lewati, mulai dari gunung Kulu, gunung Geurutee, dan gunung Paro. Meskipun demikian, pesona pemandangan di sebelah kirinya menyuguhkan panorama alam membentang luas dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.


Kami berangkat dari Banda Aceh sekitar pukul 10.00 WIB dan tiba di Tapaktuan, ibukotanya Aceh Selatan sore harinya. Perjalanan ini juga melewati gunung Trans terletak di Nagan Raya yang di pinggir jalannya dipenuhi perkebunan sawit. Keesokan paginya, barulah kami menuju ke Kecamatan Kluet Selatan yang jaraknya sekitar 27,3 km dari kota Tapaktuan. Jika Tapaktuan merupakan wilayah pesisir pantai, Kluet Tengah terletak di kawasan hutan yang masih alami.

Di ruang kerjanya, Camat Kluet Tengah, Mukhlis Anwar menerima kedatangan kami dengan penuh hangat dan tangan terbuka. Darinya kami memperoleh informasi bahwa Gampong Alue Tengah didiami masyarakat yang sehari-harinya menggunakan boat mesin untuk menuju kota kecamatan. Keperluan mereka beragam, mulai dari membeli sembako atau membawa hasil alam untuk dijual kembali. Ada juga yang menjenguk anaknya yang menempuh pendidikan jenjang SMA di pusat kecamatan. Mukhlis menyebut, di Gampong Alue Keujruen, hanya ada jenjang SD dan SMP, sementara SMA terletak di Kluet Tengah.

Sebelum menuju dermaga rakyat, pemandangan areal persawahan menghampiri kami baik dari sisi kanan maupun kiri. Hijaunya dedaunan dan aroma padi yang akan berbuah, menambah kesyahduan suasana alam Kluet Tengah. Bila ingin menuju Gampong Alue Keujruen yang dihuni sekitar 68 kepala keluarga ini, kita akan menempuh jarak sekitar 22 kilometer dari dermaga rakyat Menggamat dan akan menghabiskan waktu selama 2 jam perjalanan menggunakan sampan mesin.


Pemandangan alam yang luar biasa akan kita dapati saat menjajal sungai yang diapit oleh pegunungan di kaki gunung Leuser yang menghadirkan beragam keunikan dan destinasi ekowisata. Baik camping, tracking, memancing, hiking, arung jeram kuliner ikan kerling, lokasi penelitian, pengabdian masyararkat, serta sangat cocok jadi kawasan konservasi edukasi. Potensi ini sangat cocok jika ditangani dengan serius oleh berbagai pihak.

Selama ini, angkutan sungai ini kebanyakan hanya digunakan untuk angkutan umum masyarakat. Oleh karenanya, dengan beragam potensi alam dapat dijadikan pemasukan bagi masyarakat sekitar dengan dijadikannya aliran sunggai ini sebagai destinasi unggulan tidak hanya bagi masyarakat Aceh Selatan, namun bagi Aceh utamanya. Sebab, angkutan sungai selama ini dari hasil liputan Aceh TRANSit sudah sangat layak melayari aliran sungai. Bahkan pengemudi angkutan sungai ini sudah berpengalaman, mereka menggantungkan hidupnya pada aktivitas sungai ini.(*)

Tulisan ini sudah tayang di dishub.acehprov.go.id dan terbit di Tabloid Aceh TRANSit Edisi XIII Mei 2023

Senin, 18 September 2023

Abdul Halim, Kelola Bank Sampah Jadi Upaya Bersama Selamatkan Bumi

Senin, September 18, 2023


Keberadaan sampah dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi isu yang begitu menyita perhatian semua kalangan. Baik pemerintah, lembaga non pemerintah, maupun secara pribadi. Hilir mudik pemberitaan media terkait sampah yang berserakan di mana-mana tentu amat menyita mata yang memandang. Misalnya yang amat terasa adalah di perkotaan. Selokan-selokan yang sebenarnya dialiri air dengan lancar, malah terhambat dengan berbagai jenis sampah baik organik, non-organik maupun sampah residu.


Hal ini yang membuat kegelisahan dirasakan oleh Abdul Halim, pemuda asal desa Glee Putoh, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh ini menggagas Bank Sampah Asri (BSA) pada tahun 2020. Program BSA ini mendapat perhatian dari masyarakat dikarenakan masyarakat yang mau menyetor sampahnya ke BSA akan mendapatkan reward yang dapat dikonversikan ke dalam uang untuk biaya sampah yang diambil di rumahnya setiap Senin dan Kamis oleh petugas kebersihan pemerintah desa.


Inovasi ini awalnya muncul saat pria lulusan program studi Sosiologi Universitas Malikussaleh ini saat ia mendampingi kunjungan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen berkunjung ke Surabaya. Dalam kunjungannya ini, Pemerintah Kota Surabaya telah mampu mengelola sampah perkotaan dengan luar biasa. Sepulang dari sana, ia pun mencoba menerapkan di daerahnya, Bireuen.


“Selain iu, saya juga rutin mengikuti webinar, termasuk belajar pengelolaan sampah dari komunitas yang ada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum,” sebutnya dalam sesi wawancara via zoom, Jumat, 15 September 2023 lalu.


Beberapa tahun sebelumnya, usai lulus kuliah, dari tahun 2015-2016 ia merupakan jurnalis yang konsisten menyuarakan isu lingkungan dalam tulisan maupun pemberitaannya. Selanjutnya, kepeduliannya terhadap lingkungan pula yang memutuskannya pada tahun 2017 bergabung dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsisten mengenai lingkungan. Proyek yang dikerjakannya adalah mengenai kajian biodiversitas di kawasan DAS Peusangan yang aliran sungainya dari Danau Lut Tawar, Aceh Tengah hingga bermuara ke sungai Kuala Ceurapee, Bireuen.


“Dikarenakan terlibat dalam program ini pula, tahun 2019 tercetus ide melakukan submit ke Satu Astra Award. Tetapi, realisasi dan pendampingannya baru berjalan pada tahun 2020,” ungkapnya.


Pada tahun tersebut, Halim memutuskan untuk membuat terobosan dengan memilih Desa Blang Asan, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sebagai desa pertama yang akan ia bina. Menurutnya, desa atau dalam bahasa Aceh disebut gampong ini memiliki kepadatan penduduk sehingga tentunya memiliki sampah yang tak terbendung. Apalagi, desa ini termasuk ke dalam kawasan di pinggiran Kota Matang Geulumpang Dua yang terkenal dengan kuliner Sate Matangnya itu.


Halim menyebut permasalahan sampah di desa perkotaan sebenarnya sudah menjadi permasalahan utama, sehingga perlu solusi penangangan sampah, area juga sempit sehingga warga kesulitan mengelola sampah secara mandiri.


“Kami berinisiatif mendorong kepala desanya menyediakan jasa pengelolaan sampah tingkat desa di bawah BUMDes atau di Aceh disebut dengan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Jadi, mulai tahun 2020 desa mulai mngelola sampah dan berjalan 60 kepala keluarga yang berpartisipasi dari 110 kepala keluarga di desa tersebut,” tambah Halim.


Selang setahun kemudian, pada 2021, ia melihat aktivitas penyedia jasa berjalan dan warga mulai berpartisipasi meskipun belum semuanya dan berdampak. Desa juga berkolabroasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bireuen sehingga membuang sampah dari desanya ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dari berbagai pengalaman tadi, Halim pada tahun 2021 memutuskan untuk kembali melakukan submit untuk apresisasi SATU Indonesia Awards. Ia terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Award Tahun 2021 tingkat provinsi dengan inovasi ‘Pengelolaan Sampah untuk Masa Depan Bumi’.


Setelah mendapatkan apresiasi dari Astra ini, tidak membuatnya berada di menara gading. Halim terus berinovasi dengan terus mengajak warga lainnya untuk terlibat. Misalnya ia bersama komunitas The Power of Mak-Mak, Dusun Geudong Teungoh Desa Pulo Ara, Kecamatan Kota Juang yang berada di pusat ibukota Kabupaten Bireuen ini salah satunya adalah isu pengelolaan sampah.


Sebab hampir sama kasusnya dengan di Desa Blang Asan, di kawasan ibukota kabupaten warga mulai membungan sampah di selokan, jalan-jalan umum. Bahkan menjadi pemberitaan serius di Bireuen. Salah satu isu yang cukup besar adalah adanya penolakan keberadaan TPA di salah satu desa dengan Pemkab Bireuen. Walaupun kini TPA-nya sudah ditutup dan dipindahkan ke tempat lain, namun ini hanya menggesar persoalan dari TPA lama ke TPA baru dan pastinya akan muncul masalah penolakan lagi.


“Makanya kita dorong komunitas perempuan ini untuk mulai memilah sampah, sehingga persoalan sampah ini dapat kita kendalikan bersama-sama.”


Dikatakan Halim, sambil ia menerapkan ilmu Sosiologinya, menurut ia ada perbedaan penanganan sampah di Blang Asan dan Pulo Ara. Jika di Blang Asan, Keuchik (Kepala Desa) yang terjun langsung sangat terbuka terhadap perbaikan lingkungan desanya. Apalagi mereka juga semangat karena memperoleh pemasukan dari pengelolaan sampah mereka sendiri. Sementara di desa Pulo Ara, komunitas perempuan yang awalmya sebagai komunitas olaharaga, sosial, dan lainnya ini mendorong anggotanya untuk mulai memilah sampah rumah tangga. Dampaknya, kaum perempuan ini lebih progresif dan semangat. Kita tahu, ibu-ibu yang keserahiannya lebih banyak dihabiskan di rumah tentu menjadi individu yang paling berdampak dengan sampah. Oleh karena itu, ketika ada inovasi BSA, mereka lebih cepat tertarik karena BSA mendorong perempuan untuk memanfaatkan kemabli sampah-sampahnya. Apalagi, beberapa jenis sampah plastik dapat dijadikan sebagai kerajinan tangan.


Dari berbagai rangkaian pendirian BSA, Halim juga bercerita bahwa ia memiliki sejumlah tantangan dalam menjalankan programmnya. Untuk BSA sendiri masih ada kendala dikarenakan harga sampah yang anjlok, sehingga membuat pemilahan sampah di rumah tangga menurun. Namun, Halim terus menyoliasisikan bahwa semua pribadi perlu bertaanggung jawab atas sampah yang telah kita hasilkan.


“Kita terus memotivasi masyarakat bahwa pemilahan sampah baik di rumah maupun di lembaga pendidikan sebenarnya telah membantu negara mengurangi biaya yang harus dikeluarkan setiap tahunnya untuk mengurangi timbunan sampah. Apalagi Pemkab Bireuen harus mengeluarkan biaya yang besar setiap tahunnya mencapai 5 miliah rupiah.”


Angka yang cukup fantastis, sehingga jika sampah dikelola secara mandiri oleh masyarakat tentu oeperasional sebesar itu tidak perlu dikeluarkan. Bersebab pengelolaan sampah memang tanggung jawab setiap individu, meskipun pemerintah juga punya kewenagan tersendiri.


Tantangan lain yang dihadapi Halim adalah saat pertama kali mencetus ide ini ada saja suara-suara sumbing. Ada warga yang pesimis bahwa progra BSA ini tidak mungkin berhasil. Selain itu, terkadang ada petugas kebersihan desa yang akhirnya tidak mau mengambil sampah dikarenakan upah yang diterimanya sedikit. Namun, warga yang tadinya pesimis, akhirnya dialah yang kini menjadi garda terdepan menggantikan petugas kebersihan sebelumnya.


“Tipikal masyarakat kita, ketika sudah sukses, barulah mereka menyukai sehingga mengubah mindset mereka. Apalagi, program ini juga menjadi pemasukan untuknya, meskipun belum besar.”


Sejak berdiri tahun 2020 silam hinga sata ini, program yang telah terealisasi yaitu jasa pengangkutan sampah desa dan pendirian bank sampah. Halim memiliki target ke depannya, pemanfaatan dan pengelolaan sampah dapat makin masif misalnya sampah-sampah seperti botol mineral dapat dijadikan kursi. Selain itu, seperti tutup botol bisa dijadikan bros atau kantong kopi kemasan bisa dijadikan tas dan sebagainya.



Dikarenakan terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Awards sebagai Apresiasi Astra bagi anak bangsa yang telah berkontribusi untuk mendukung terciptanya kehidupan berkelanjutan melalui bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi serta satu kategori kelompok yang mewakiliki lima bidang tersebut. Halim merasakan benar bahwa Astra telah sangat membantunya menwujudkan ikhtiar pengelolaan sampah untuk masa depan bumi hingga sekarang.


“Sejauh ini, sejak tahun 2021, Astra telah menjadi wadah dan membuka jaringan dipertemukan dengan jejaring yang bisa saling mendukung. Upaya Astra ini membantu ide-ide kreatif dan inovatif untuk dipertemukan dengan banyak pihak sehingga mendukung keberlanjutan program ini terus berjalan,” ujar Abdul Halim.


Kini, ia telah merancang strategi agar upaya kolaborasi positifnya ini dengan Astra Indonesia dapat terus berlanjut dan memiliki dapat pada masyarakat setempat. Halim mengatakan bahwa ini menjadi titik fokusnya, karena ia tidak ingin dianggap hanya sukses dalam kegiatan yang sifatnya seremonial saja. Sebab itu, ia ingin masyarakat mendapatkan hasil yang lebih banyak dari pengelolaan sampah ini dan membantu perekonomian warga dan desa. Selain itu, Halim juga akan mengajak keterlibatan generasi muda untuk mulai peduli dan sadar terkait isu lingkungan sebagai bagian dari hidupnya. Halim punya cita-cita dari apa yang telah dicetuskannya ini. Ia pribadi berharap bahwa ke depan adasemacam tempat pengelolaan sampah terpadu yang  menghubungkan desa-desa yang berpartisipasi di Kabupaten Bireuen. Terutama di kawasan perkotaan padat penduduk dan tenapt wisata, lembaga pendidikan yang produksi sampahnya banyak.(*)

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

 

Kamis, 16 Juni 2022

Sejarah Penulisan Alquran dan Pengumpulannya

Kamis, Juni 16, 2022

Foto: freepik.com

Alquran yang dapat kita baca dalam bentuk mushaf masa kini, tidaklah hadir dengan mudah. Ada beragam perbedaan dinamika diantara para sahabat Rasulullah. Namun, kebermanfaatan adanya Alquran dalam bentuk mushaf memudahkan kita untuk menghafalnya. Lantas, bagaimana sejarah pengumpulan Alquran? Yuk simak ulasan kami berikut ini hasil dari perkuliahan Studi Alquran bersama Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc., M.A.


  • Periode Rasulullah Muhammad SAW (Periode Pertama)

Pada masa Rasulullah masih hidup, metodenya dengan menghafal dan tulisan. Nabi Muhammad yang pertama kali menghafal Alquran. Allah-lah yang langsung memudahkan hafalan Rasulullah melalui Jibril. Hal ini sesuai yang tercatat dalam Surat Thaha ayat ke 114:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الۡمَلِكُ الۡحَـقُّ‌ ۚ وَلَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ يُّقۡضٰٓى اِلَيۡكَ وَحۡيُهٗ‌ۖ وَقُلْ رَّبِّ زِدۡنِىۡ عِلۡمًا



Terjemahannya:

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”

Dalam Surat lain juga Allah sebutkan dengan bunyinya:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ  إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

Terjemahannya:

“Jangan engkau, wahai Nabi Muhammad, gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya, karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya.” (QS. Alqiyamah: 16-17).


Metode belajar Alquran oleh Rasulullah ini dikenal dengan metode Syafahi yaitu metode belajar Alquran melalui lisan bukan dengan tulisan. Allah tidak menurunkan Alquran sekaligus agar memudahkan Rasulullah dalam menghafalnya. Oleh sebab itu, Alquran turun selama 22 tahun, 22 bulan, dan 22 hari.


Tujuh Sahabat luar biasa penghafal Alquran, Abdullah Bin Mas’ud, Ubay Bin Ka'ab, Muaz Bin Jabal, Abu Dardak, Zaid Bin Sabid, Abu Zaid, dan Abu Musa Al Asy’ari. Alquran tidak bisa dipalsukan karena Allah yang menjaganya. Alquran dituliskan pada masa Nabi, tidak ditulis dalam satu tempat, tapi berserakan, yang paling banyak menulisnya adalah Zaid Bin Sabid (sekretaris nabi). Misalnya dituliskan pada kulit binatang, bebatuan, hingga tulang binatang.


  • Periode Khalifah Abu Bakar (Periode Pertama)

Yang menjadi titik utama mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf (tempat). Awalnya Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mau mengumpulkannya, akhirnya Umar Bin Khattab yang menyampaikan fakta bahwa banyak penghafal Alquran yang meninggal dalam peperangan. Lalu Umar meminta kepada Abu Bakar, tetapi Abu Bakar takut karena belum pernah dilakukan oleh Nabi. Kemudian Umar mengatakan bahwa ini adalah salah satu kebijakan yang baik, akhirnya Abu bakar bersedia untuk menuliskannya. Ketika Abu Bakar wafat, lalu dititipkan kepada Umar. Tidak ada hal yang baru pada masa ini, karena periode kekhalifahan ini Umar banyak meluaskan daerah kekuasaan Islam.


  • Periode Usman Bin Affan (Periode Ketiga)

Pada periode ini dimulailah pengumpulan Alquran dalam satu bahasa, Bahasa Quraisy. Allah menurunkan Alquran dalam tujuh bahasa dari pada bahasa kabilah. Boleh dibaca dengan model bahasa manapun, asal ada dalam tujuh bahasa tersebut. Ketika terjadi peluasan Islam, maka sahabat yang membawa Alquran ini disampaikan dengan bahasanya. Lalu, inisiatif Usman menyatukan bahasa Alquran dalam bahasa Quraisy yang mudah dimengerti oleh semuanya. Maka dikenal Mushaf Usmani, sementara Alquran pada sebelumnya dibakar semuanya. (*)

Selasa, 03 Mei 2022

Komunikasi Perdamaian Solusi Konflik Myanmar

Selasa, Mei 03, 2022


Pemaparan Hsu Thiri Zaw dalam momentum ICONIC 2021 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry membuka mata pendengarnya. Terkhusus tentang negara yang sangat sulit diakses informasinya, yaitu Myanmar dulunya memiliki nama Burma. Mengawali paparannya, Hsu Thiri Zaw membahas tentang kedamaian. Ia mengumpamakan bahwa kedamaian layaknya kebahagian dan harmoni, meskipun manusia mencarinya ketika kehilangan cinta, rasa adil, dan kebebasan.

Dosen di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif dari lintas kelompok.


Paparan yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun, sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.


Keterkaitan komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui, setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya berjalan maksimal.


Kemajemukan masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.


Terkait  kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut. Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga dan melindungi bahasa etnis.


Masyarakat minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun 2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15 Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di Myanmar.


Kendati demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.


Hasil kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis. Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai khazanah identitas etnis tersebut.


Harapan perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab terhadap semua  masalah yang berkaitan dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)


Kamis, 02 September 2021

Muhammad Noer, Nahkodai Kapal dengan Rute Terlama di Aceh

Kamis, September 02, 2021

Capt. M. Noer sedang mengecek kesiapan kapal sebelum berangkat dari Calang menuju Sinabang

Penumpang yang pernah menyeberang dari Ulee Lheue Banda Aceh menuju Balohan Sabang, tentu mengenal Capt. Muhammad Noer. Dialah nahkoda KMP. BRR selama 12 tahun. Kini, ia diberi kepercayaan baru menahkodai KMP. Aceh Hebat 1.


Calang, Aceh Jaya memiliki pesona keindahan alam yang luar biasa. Seperti terlihat di Pelabuhan Calang yang menjadi tempat Capt. M. Noer menyandarkan KMP. Aceh Hebat 1 yang kini telah tepat 100 hari berlayar menyusuri lautan barat Aceh.


Sayup terdengar suara petugas pelabuhan menginformasikan kepada masyarakat bahwa KMP. Aceh Hebat 1 akan segera berlayar. Rampdoor diturunkan dan penumpang menaiki kapal ini seraya diikuti mobil pribadi, truk logistik, hingga petugas medis pembawa vaksin Covid-19 ke Pulau Simeulue. Capt. M. Noer bersyukur adanya kapal ini sangat membantu masyarakat kepulauan menuju Banda Aceh. “Jadinya masyarakat tidak menunggu-nunggu kapal yang akan ke Banda Aceh juga ke Simeulue. Sudah ada kepastian jadwal,” ucapnya.


Pria asli Sabang ini bercerita bahwa ini kali pertama ia berlayar ke Pantai Barat-Selatan Aceh menahkodai kapal penyeberangan dengan jarak tempuh terjauh selama 14 jam lamanya ditambah ombaknya yang menantang. “Di tengah perjalanan, jika tiba-tiba ada badai, kita menghindar dari alun ombak besar. Sehingga kita berlayar zig zag mencari jalur yang aman. Alhamdulillah bisa kita atasi.” sambungnya.


Secara rutin, pihaknya selalu berkoordinasi dengan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Aceh guna memantau intensitas gelombang Pantai Barat Selatan Aceh. “Alam tak bisa kita lawan. Jika cuaca buruk dan ekstrem, kita tunda berlayar. Selama ini pernah dua kali kita tunda berlayar. Jadinya, kita selalu menginformasikan kepada penumpang baik di pelabuhan maupun media sosial.”


Capt. M. Noer dan ABK merasakan kendala saat bersandar di Pelabuhan Calang. Walaupun karakteristiknya berupa teluk, tetapi alun lautnya membuat kapal sering berbenturan dengan fender di dermaga. Ia berharap, agar pemerintah menyiapkan pelabuhan lain yang lebih tenang dan tersedianya prasarana dan sarana pendukung sandaran kapal.


Pada libur Idul Fitri 1442H lalu, Noer menceritakan adanya lonjakan penumpang yang menaiki KMP. Aceh Hebat 1. Rata-rata penumpang saat itu didominasi mahasiswa, pedagang, wisatawan, pekerja hingga sopir truk logistik yang ingin merayakan momen suci bersama keluarga. “Alhamdulillah tidak ada antrian baik kendaraan maupun orang, kita bisa maksimum mengangkut penumpang.” tambahnya.


Saat ditanyai perbedaan teknologi dengan kapal lainnya, Noer menyebut kapal kebanggaan rakyat aceh ini dibuat dengan teknologi canggih terbaru menggunakan double engine mitsubishi yang mampu menghasilkan kecepatan tempuh maksimum 14,3 knot (sekitar 26,5 km/jam). Selain itu, dilengkapi dengan Automatic Identification Sysem (AIS) / Sistem Pelacakan Otomatis, memiliki Dek Kendaraan dengan 2 lantai bersistem hidrolik, Rampdoor depan dengan sistem teknologi bow visor dengan pintu hidrolik yang dapat terbuka 90o untuk memberikan jarak pandang maksimum bagi nahkoda ketika sandar.


Selain sebagai lintasan perintis sekaligus prioritas daerah, perannya membantu distribusi logistik maupun penyeberangan penumpang lebih cepat sampai ke Sinabang sangat dirasakan masyarakat. “Dari sektor bisnis menguntungkan pebisnis yang mengangkut hasil komiditi Simeulue diantaranya sektor perikanan dan perkebunan menuju Calang. Begitu pula sembako dari Calang menuju Sinabang.”


Pada akhir wawancara di tengah laut Samudra Hindia ini, Capt. Noer menceritakan kerinduannya dengan keluarga, dengan menebar senyum penuh harap ia ingin sekali bisa segera dapat mengambil cuti dan menikmati liburan bersama keluarganya. “Ya kangenlah, sudah lama gak ketemu anak-anak dan istri,” pungkasnya. Terakhir ia berpesan kepada penumpang agar tetap menjaga kebersihan kapal ini.(*)

Senin, 16 November 2020

Cara Mudah ke Pulo Aceh

Senin, November 16, 2020

Pelabuhan Ulee Paya. (Photo by: Irfan Fuadi)


JARAKNYA lebih dekat dengan Banda Aceh ketimbang pusat ibukota Aceh Besar, Jantho. Itulah Pulo Aceh, kecamatan di Aceh Besar yang memiliki 17 gampong ini, adalah sekumpulan pulau besar dan kecil. Pulau terbesarnya adalah adalah Pulau Nasi dan Pulau Breuh yang menjadi pusat kecamatan.

Untuk menuju Pulo Aceh, kita bisa menempuhnya melalui Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh dengan menumpang KMP.Papuyu. Kapal motor ini mulai berlayar ke Pelabuhan Penyeberangan Lamteng yang terletak di Pulau Nasi sejak tahun 2012. Jarak lintasan 12 mil menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan. Jadwal berlayarnya setiap hari kecuali Selasa dan Jumat bergerak pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.00 dari Lamteng.

Sebelumnya, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP. Simeuleu yang berlayar perdana pada 30 Oktober 2008. Seperti halnya KMP. Papuyu, KMP. Simeulue juga merapat di Pelabuhan Lamteng Pulau Nasi. Pelabuhan ini dibangun oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pada tahun 2006 dan 2007.

Seiring kebutuhan dan permintaan masyarakat, mulai 3 Juni 2020, KMP. Papuyu juga telah melayani rute Ulee Lheue menuju Seurapong yang terletak di Pulau Breueh. Jarak tempuhnya lebih jauh, yaitu 16 mil dengan masa tempuh 1,5 jam perjalanan.

Berbeda dengan Pelabuhan Lamteng, status Pelabuhan Seurapong masih pelabuhan perintis berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.3/05/2020 Tentang Penetapan Lintas Penyeberangan Perintis Aceh. Jadwal berlayarnya hanya hari Kamis dan Sabtu bergerak pada pukul 07.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.30 dari Seurapong/Ulee Paya. Tempat bersandarnya di ujung talud/breakwater dermaga perikanan Ulee Paya milik BPKS-Sabang.

Maryam, warga Pulo Aceh sekaligus salah satu penumpang KMP. Papuyu yang ditemui Tim Aceh TRANSit di pagi Sabtu (8/8/2020), mengaku gembira dengan kehadiran KMP.Papuyu ke Seurapong/Ulee Paya. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan kapal yang dikelola pihak ASDP Ferry Indonesia Cabang Banda Aceh itu. “Biasanya kan pakai boat. Kebetulan pulangnya Sabtu dan ada jadwal kapal. Dari segi harga saya lebih memilih KMP.Papuyu karena lebih murah, juga lebih nyaman,” ujarnya.

Selain Maryam, mayoritas penumpang KMP. Papuyu adalah pedagang yang dalam seminggu dapat beberapa kali bolak-balik Ulee Lheue menuju Pulo Aceh, menggunakan mobil maupun sepeda motor.

KMP. Papuyu mampu menampung 105 penumpang dan memuat 8 unit kendaraan dengan 2 unit kendaraan kecil dan 6 unit bis/truk ukuran sedang. Hanya saja, karena fasilitas pelabuhan yang berada di kawasan terumbu karang, maka pelayaran KMP. Papuyu ke dua pelabuhan ini sangat tergantung cuaca, pasang surut air laut, serta arah angin di kawasan ini.

Terkait pasang surut air laut, ini menjadi masalah utama. Kendangkalan dermaga pelabuhan menjadi penentu mudah tidaknya kapal bersandar. Oleh karena itu, jadwal kapal pun tak ayal bergantung pasangnya air laut.

Hal ini seperti yang disebut Nahkoda KMP. Papuyu, Capt. Syaiful Akmal. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Pulo Breueh ini belum layak untuk didatangi kapal penumpang. Karena kelayakan seperti dermaga dan tempat tambat talinya, semuanya belum tersedia.

Jika masuk ke pelabuhan ini sangat riskan, sebab lokasi pelabuhan sekarang sangat tergantung pasang surut air laut. “Kalau air rendah kita gak berani masuk, karena banyak karang di sini,” sebutnya.

Keberadaan terumbu karang di dua pelabuhan ini menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, keindahan terumbu karang menjadi nilai destinasi wisata. Di sisi lainnya, terumbu karang ini menghalangi jalur masuk kapal penumpang ketika air surut dangkal.

Perihal ini, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Joni, S.T., M.T., mengungkapkan hal menarik. Terkait dengan perizinan lingkungan dapat dilakukan pengerukan bila secara tata ruang laut dapat merekomendasikan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilaksanakan.

KMP. Papuyu saat tiba di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. (Photo by: Midika Utama Putra)

Nanti dokumen lingkungan yang harus disusun berdasarkan Permen LHK No. P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Jenis dan Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di antaranya jenis Amdal karena berada pada kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan Kawasan Lindung. “Jadi dari aspek rekomendasi atau perizinan lingkungan hidup, kegiatan dapat dilaksanakan sepanjang secara rekomendasi tata ruang terpenuhi,” ungkap Joni.

Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebut Pelabuhan Penyeberangan Lamteng termasuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh. Zonasi ini tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020. Kawasan ini dapat digunakan sebagai kawasan pemanfaatan umum. Salah satunya adalah pemanfaatan zona pelabuhan. Tak terkecuali memuat Pelabuhan Lamteng sebagai pelabuhan pengumpan lokal. (*)

Senin, 20 Januari 2020

Krueng Aceh: Histori dan Potensi

Senin, Januari 20, 2020
Foto: Irfan Fuadi



















Bakhtiar sedang memperbaiki boat miliknya. Di tepi Krueng (sungai) Aceh di kawasan Lambhuk Banda Aceh, Bakhtiar dan beberapa rekannya sedang bersiap menuju lautan. Beberapa temannya sibuk membantu Bakhtiar memastikan boat siap berlayar.

Hari itu, Kamis (4/7/2019) aliran sungai Krueng Aceh nampak tenang. Cerahnya cuaca menambah keyakinan Bakhtiar menyalurkan hobinya memancing ikan dengan kapal. Hobi ini telah lama digelutinya, di sela rehat dari pekerjaan harian. Kedatangan ACEH TRANSit bukan tanpa maksud, melainkan sebagai wujud menyerap aspirasi warga, terkait wacana dan upaya pemerintah menjadikan Krueng Aceh sebagai angkutan sungai.

Selama ini, setiap Sabtu pagi Bakhtiar berlayar dari Krueng Aceh, tepatnya dari Gampong Lambhuk menuju laut lepas. Ia kembali keesokannya (hari Minggu). Pun demikian, di hari-hari lain, bila cuaca mendukung, Bakhtiar tetap berlayar memancing ikan. Hobi positifnya ini patut diapresiasi.

Bakhtiar dan teman-temannya menyambut baik Saat ACEH TRANSit menanyakan pendapat mereka jika Krueng Aceh ini dijadikan sebagai angkutan sungai di bawah pengelolaan pemerintah. Mereka tambah bersemangat jika tidak hanya sebagai angkutan barang dan orang, tapi angkutan sungai itu juga menjadi destinasi wisata baru di Kuta Raja.

Kami mendukung, saya siap membeli boat fiber yang lebih besar lagi untuk mendukung pariwisata. Ya, kami berharap juga diberdayakan pemerintah,” ujar warga Lambhuk ini.

Pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengusaha ini, berharap dibangunnya dermaga tempat bersandar kapal. Misalnya di tempat-tempat strategis, sekaligus menjadi tempat transit pengguna angkutan sungai. “Cocoknya dibangun dekat dengan masjid Keuchik Leumik, di Pango, dan Peunanyong.”

Posisi dibangunnya dermaga ini, kata Bakhtiar sesuai dengan kebutuhan. Dekat masjid memudahkan warga yang ingin beribadah. Jika di Pango, membantu warga yang ingin belanja ke pasar Peunayong ataupun ke pasar Lambaro. Sementara itu, dermaga di Peunayong dapat dibangun berdekatan dengan pusat jajanan dan kuliner di kawasan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Bakhtiar menyampaikan kendala yang dia hadapi selama ini, yaitu kapalnya sering terhalang tumpukan sampah di bawah jembatan Beurawe. Ketinggian jembatan juga mempengaruhi, sebab itu kapal disesuaikan dengan ketinggian jembatan. Jadinya, bila tiba air pasang, mereka tidak bisa melewati bawah jembatan.

“Di bawah jembatan itu harus dibersihkan, agar tidak merusak fiber kapal. Selain itu, kebersihan pinggiran sungai perlu diperhatikan,” sebutnya sambil menunjuk ke arah jembatan.

Sejalan dengan wacana pemerintah, Bakhtiar optimis jika nantinya sudah bersih, destinasi pariwisata ini terjaga dengan baik. Pun demikian, kata Bakhtiar, warga harus selalu diberi pemahaman untuk ikut andil berpartisipasi menjaga kebersihan sungai. Tentu dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah.

Bakhtiar menyarankan agar batas wilayah jalur angkutan sungai turut pula diperhatikan. Belakangan, katanya, yang layak dilewati kapal hanya sampai jembatan Pango. Setelahnya, hingga ke Lambaro banyak kayu yang berserakan. Dia menyebut sudah pernah melakukan survei ke kawasan itu.

Bakhtiar menyarankan agar pemerintah tetap berkoordinasi dengan pawang laot setempat. Apalagi, bila angkutan sungai ini tidak hanya menyasar angkutan barang, namun merambah pula angkutan orang. Misalnya untuk jalur lintasan Pango hingga Peunayong. “Sebaiknya berdiskusi juga dengan pawang laot. Artinya kita minta izin. Sekaligus silaturahmi agar lintas sektor terus harmonis,” pungkas Bakhtiar menyudahi pembicaraan menjelang siang itu.

Tahun lalu (11/02/2018), akun instagram resmi @dishub_aceh pernah menampung opini warga net terkait transportasi sungai di ibukota Provinsi Aceh. Beragam komentar warga net rata-rata menyambut positif wacana ini. Beberapa respon ini seperti diungkapkan pengikut setia akun Instagram @dishub_aceh.

“Boleh min, tapi juga diperhatikan kebersihan airnya baik dari sampah ataupun kejernihannya. Kalau saya gak salah sudah ada teknologi penjernih air.” (@erlangga.dwi.pamungkas)

“Setuju. Bagus yang penting sesuai dengan rencana dan buktikan saja untuk membangun Kota Banda Aceh agar lebih banyak peminatnya untuk pariwisata.” (@ameliyadarma)

“Untuk wisata ini bagus dikembangkan, bisa nanti ikutin kota besar Indonesia lainnya semisal buat pasa rapung di Lambhuk atau Pango dan lain-lain. Namun untuk konektvitas antar daerah lebih mudah dengan jalan raya.” (@ahmadi_znd)

Mengutip laman bandaacehtourism.com, sungai kebanggaaan warga ibukota ini memiliki panjang 145 kilometer terbentang dari hulu Krueng Aceh di Jantho, Aceh Besar. Muaranya hingga ke pesisir kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Beberapa sungai lainnya di Banda Aceh dan Aceh Besar bermuara ke sungai ini, seperti Krueng Seulimum, Krueng Jreue, Krueng Keumireu, Krueng Inong, Krueng Leungpaga, dan Krueng Daroy.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Krueng Aceh sebagai salah satu sungai tersibuk. Hal ini dilihat dari jalur masuk dan keluar kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Dari sungai inilah berbagai rempah-rempah Aceh dibawa keluar untuk diperdagangkan di ranah internasional. Tak heran bila sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini memiliki arti khusus bagi masyarakat Aceh.

Muhammad, warga Lambhuk kepada ACEH TRANSit Selasa (2/7/2019) menyebut, posisi Krueng Aceh di kawasan Lambhuk dan Beurawe tidaklah lurus seperti sekarang. Awalnya meliuk-liuk khasnya sebuah sungai. Atas inisiatif pemerintah pusat dan daerah di masa itu, dibuatlah alur sungai menjadi lebih rapi. Tentu, ini menjadi bonus saat Krueng Aceh nantinya menjadi angkutan sungai.

Sambutan positif Bakhtiar dan rekan-rekannya ditambah opini warganet, menjadi semangat pemerintah untuk segera mengelola angkutan sungai. Optimisme bersama ini sudah sangat baik untuk terus dibangun. Agar kedepannya konektivitas dan sinergisitas pemerintah dengan warga selalu berjalan dengan baik. Artinya, ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak demi visi Aceh Seumeugot berjalan seperti yang diharapkan.(*)

Minggu, 13 Oktober 2019

Mengenang Robur, Si Pengantar Mahasiswa

Minggu, Oktober 13, 2019

Keuchik Harun berpose di rumahnya. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Saat dihampiri ACEH TRANSit, Keuchik Harun sedang beraktivitas di depan rumahnya. Di usianya yang tak lagi muda, Keuchik Harun masih nampak sehat. Kesehariannya kini bersama istri tercintanya. Mahasiswa era tahun 70-an dan 80-an yang kuliah di Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam tentu akrab dengannya. Dialah sopir Robur generasi pertama di Aceh.

Keuchik Harun memulai pembicaraanya. Dia menyebut, pertama kali Robur ada di Aceh setelah Pemilu 1972, tepatnya pada tahun 1974. Bus angkutan umum perkotaan ini, hadir di Banda Aceh atas inisiasi Pemerintah Daerah Istimewa Aceh masa itu. Empat unit Robur didatangkan dari Jakarta melalui Belawan, Medan.

Sesampai mobil dari Medan inilah, angkutan massal perkotaan pertama hadir di Banda Aceh. Keseharian Keuchik Harun bersama dengan sopir Robur lainnya rutin mengantar mahasiswa. Setiap harinya, pukul 07.00 WIB bus Robur parkir dengan rapi di depan Masjid Raya Baiturahman. Dari pagi hingga sore, Robur melaju dari pusat kota menuju Darussalam, begitu sebaliknya.

Semasa menjadi sopir, rasa lelah rutin menghampiri Keuchik Harun. Apalagi terkadang mahasiswa berkelahi di dalam Robur. Beberapa sopir menyampaikan keluhannya kepadanya.

Hal yang membuat Keuchik Harun mengernyitkan dahi. Mereka berkelahi dan cekcok antar fakultas atau sesama fakultasnya di dalam Robur. Jadinya, terkadang Keuchik Harun melaporkan hal ini kepada Senat Mahasiswa.

Masa itu, Dimurtala menjadi Senat Mahasiswa. Ke sana lah Keuchik Harun menyampaikan keluh kesahnya. Selain, tentu peran Keuchik Harun juga tetap melerai cek-cok antarmahasiswa. Karena hal inilah, Keuchik Harun dipilih menjadi Keuchik Gampong Peurada masa itu.

“Saya menjumpai Pak Dimurtala, selaku senat mahasiswa kala itu. Untuk menyampaikan hal ini agar ada nasihat langsung kepada rekan mahasiswa,” ujar pemilik nama lengkap Harun Husen ini.

Selain berkelahi, bermacam polah tingkah laku lainnya dilakukan mahasiswa kala itu. Mereka meminta dibelokkan khusus saat di salah satu simpang di kawasan Lingke. Beberapa sopir lainnya menuruti permintaan mahasiswa. Tujuannya, agar saling berhimpitan mesra. Sehingga, konon, jadilah simpang itu dinamai Simpang Mesra hingga kini. Meski demikian, Keuchik Harun tidak menuruti permintaan mahasiswa, sebab berbahaya bagi mereka.

“Namun yang menyakitkan saya bukan itu, mereka tidak membayar ongkos naik Robur. Padahal, dari pusat kota ke Darussalam hanya 50 Rupiah. Ada yang bahkan beberapa mahasiswa meminta kembaliannya, padahal tidak pernah sama sekali memberikan uangnya kepada kernet,” sebutnya mengenang masa pahitnya.

Kendati demikian, Keuchik Harun sering mentraktir mahasiswa yang sedang nonkrong di warung kopi. Terkhusus, Keuchik Harun menyuruh mereka memesan segelas kopi, sepotong kue, dan sebatang rokok. Terutama saat mereka belum mendapat kiriman dari orang tuanya di kampung.

“Saya bilang, jangan menahan lapar. Nanti menganggu kuliahnya.”

Saat hari wisuda tiba sekaligus menjadi sarjana muda, mereka datang menjumpai Keuchik Harun. Seraya meminta maaf atas perbuatan mereka kepadanya. Sebagai yang dituakan, Keuchik Harun menerima permintaan maaf mereka. Sambil mendoakan agar mereka sukses.

Ada hal unik yang diceritakan Keuchik Harun. Saat beliau ke Kota Langsa bersama rombongan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh kala itu. Ternyata banyak mantan mahasiswa yang masih mengenalnya. Bukannya menyambut Wakil Gubernur, mereka malah mengampiri Keuchik Harun. Saat akan pulang ke Banda Aceh, maka tangan kanan dan kirinya penuh dengan oleh-oleh khas kota itu.

“Mereka kasih ke saya macam-macam. Hingga saya dikasih kecap,” sebutnya sambil tertawa.

Selama menjadi sopir bus pabrikan Volkseigener Betrieb VEB Robur-Werke Zittau dari Jerman Timur itu, Keuchik Harun memiliki kesan mendalam. Selain merasa bahagia saat mengetahui mantan mahasiswa pengguna Robur telah sukses, Dia mengagumi sosok Ali Hasyimi, Gubernur Aceh masa itu. Baginya, sosok Ali Hasyimi berbeda dengan pemimpin kebiasaan.

“Jarang kita temui Gubernur yang bertanya dan berdiskusi dengan sopir,” ujarnya mengenang.

Kesan ini pun sesuai, saat Keuchik Harun memberi ide kepada Ali Hasyimi tentang pertanyannya mengatur jam operasional Robur, agar tidak bentrok dengan jam keluar kuliah mahasiswa. Sebab, kala itu, penumpang membludak di hari Jumat.

“Pak, kita atur jam keluar mahasiswa tiap satu jam sekali. Kalau hari lain, tidak apa-apa,” sebutnya mengulang percakapan dengan Ali Hasyimi.

Karena masukannya ini, Ali Hasyimi mengiyakan. Jadi, inilah salah satu konsep yang terbaik pada masa itu guna memanajemen angkutan massal yang banyak diminati mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat.

Teriakan Darma Darma, Apung, Kramat, Jambo Tape, Lorong Mangga, Mesra, Simpang Galon, selalu terdengar dari kernet Robur. Inilah beberapa kenangan Keuchik Harun yang menjadi sopir Robur 18 tahun lamanya. Dia pensiun dari sopir Robur karena menjadi sopir pribadi Wakil Gubernur Teuku Johan. Apalagi Keuchik Harun juga pegawai pemerintah masa itu, beliau pun mengiyakan.

Generasi ketiga

Selain dengan Keuchik Harun, ACEH TRANSit juga bertemu dengan seorang sopir Robur generasi ketiga. Dia adalah Azhari yang kini bekerja di Badan Penganggalungan Bencana  Aceh (BPBA).

Saat ditemui, Jumat (16/7/2019), Azhari bercerita, dia mewarisi profesi dari ayahnya, sopir Robur generasi pertama. Adiknya, Faisal yang kini bekerja di salah satu kampus ternama di Aceh juga pernah menjadi sopir Robur. Mereka, satu keluarga menjadi sopir Robur.

“Generasi Robur terakhir kini tinggal di Unsyiah. Yang lainnya disapu oleh tsunami 26 Desember 2004 silam. Setelahnya, Robur tak lagi beroperasi di Banda Aceh,” sebutnya yang mulai menjadi sopir tahun 2001.


Angkutan massal generasi terakhir bermerek Hino Superior Coach kini terparkir di kampus Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Jumat (6/9/2019). Meski bus produksi Hino, nama Robur masih sangat kental dan sering disebut oleh masyarakat di Aceh. Foto: Irfan Fuadi/Aceh Transit

Hamdani, mantan pengguna Robur mengaku punya banyak kenangan dengan Robur. Dia rutin menggunakan Robur saat kuliah. Menurutnya, Robur sangat nyaman dan memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Robur menjadi inspirasi Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan untuk melahirkan bus Trans Koetaradja, sebagai transportasi angkutan massal perkotaan. Seperti halnya Robur, Trans Koetaradja memiliki semangat yang sama dengan terus mengupayakan inovasi sesuai dengan peradaban di Aceh.

Robur telah menjadi kenangan bagi kita semua. Dalam kaitan itu, Dinas Perhubungan Aceh, menghadirkan Robur hias pada saat perayaan karnaval HUT ke 74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019 di Banda Aceh. Ini adalah upaya mengenang kembali jasa Robur dalam mengangkut para mahasiswa. Jika Robur kembali hadir di Banda Aceh, berminatkah warga Aceh menjajalnya lagi?[]



Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."