“Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan.”
Ki Hajar
Dewantara
Pernyataan
ulanganya ini diutarakan Ki Hajar Dewantara di hadapan Dewan Senat saat
menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
pada 7 November 1959. Maksud pernyataan ini adalah agar segala unsur peradaban
dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya. Dan dapat kita teruskan
kepada anak cucu kita yang akan datang.
Menurut Ki
Hajar, lahirnya Taman Siswa yang ia gagas bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk
mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat, tidak mungkin tercapai hanya
dengan jalan politik. Terhadap pergerakan politik, orang tahu akan gambaran
khayal Ki Hajar, yang kerap
kali juga sudah beliau jelaskan, bahwa untuk dapat bekerja di sawah
dan ladang dengan tentram dan seksama (yakni tugas cara pendidik dan para
pejuang kebudayaan) sangat kita perlukan adanya pagar yang kokoh dan kuat,
untuk menolak segala bahaya yang mengancam dari segala kekuasaan dan kekuatan
yang mungkin dapat merusak sawah dan ladang serta tanaman-tanamannya, yang kita
pelihara. “Pagar” tadi tidak bukan dan tak lain adalah
pergerakan politik rakyat kita. Itulah sebabnya selalu adanya hubungan yang
baik dan erat antara pergerakan pendidikan dan kebudayaan Taman Siswa dengan
pergerakan politik.
Merujuk pada
pandangan ini, maka sebaiknya kita perlu mengenal lebih jauh perjalanan
pendidikan nasional dari masa Belanda hingga masa setelah kemerdekaan.
Politik
Pendidikan Zaman VOC dan Hindia Belanda
Pada zaman beralihnya V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadi pemerintah “Hindia Belanda”, maka sebenarnya sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah air kita. Pada hakekatnya pemerintah HB (Hindia Belanda) merupakan konsolidasi dari segala apa yang tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya kebangunan nasional pada permulaan abad ke-20, bersama waktu dengan mulai tumbuhnya aliran “kolonial modern”, yang disebut ethische koers atau ethische politiek di Nederland, barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah kolonial.
Pemerintah Nederland dibentuk kembali (tahun 1816), maka di negeri kita Indonesia oleh pemerintah HB diadakan peraturan-peraturan pemerintah pokok, semacam “Undang-Undang Dasar'' (yang disebut Regeeringsreglement, singkatan dari Replacement op het beleid van de Regeering van Nederlands Indie). Pasal 128 dalam soal itu menyebutkan: De goeverneur-generaal zorgt voor de oprichting van scholen tenminste van de Inlandse bevolking, dan ini berarti untuk rakyat gubernur-jenderal diserahi untuk mendirikan sekolah-sekolah. Lain tidak; lebih daripada mendirikan pun tidak. Tak ada disebut-sebut di situ tentang keharusan, tentang kebutuhan, tentang perlunya ada usaha yang mencakup dan lain-lain sebagainya. Pada waktu itu ada beberapa bupati mendirikan “sekolah-sekolah kabupaten”, tetapi hanya untuk mendidik calon-calon pegawai. Kemudian lahir, Reglement voor het Inlands onderwijs; lalu didirikan sekolah guru di Sala, yang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866).
Zaman Etik dan
Kebangunan Nasional
Haluan daripada sistem pendidikan, yang diadakan oleh pihak Belanda seperti tergambar di atas itu, tetapi harus mempengaruhi segala usaha pendidikan. Juga yang dilakukan sesudah aliran Ethische politiek atau Etishche koers timbul, pada permulaan abad ke-20 (dan sebenarnya sebagai akibat “Kebangunan Nasional” pada permulaan abad ke-20). Pada hal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa kita sendiri (sesudah menginjak ke dalam zaman “Kebangunan Nasional”) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intelektualisme, individualisme, materialisme dan kolonialisme.
Zaman Bangkitnya Jiwa Merdeka
Baru pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakan-akan merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Idam-idaman kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa, itulah pokok sistem pendidikan dan pengajaran, yang pada tahun 1922 dapat tercipta oleh “Taman Siswa” di Yogyakarta. Bahwa aliran Tamansiswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyat di seluruh tanah air kita, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Tamansiswa di seluruh kepulauan Indonesia: di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” (Islam, Kristen, Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar keagamaannya masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat revolusioner.
Penguatan Pendidikan
Nasional Menurut Ki Hajar Dewantara
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek), dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Melihat dari perspektif ini, saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa proses pendirian gagasan awal mula pendidikan nasional adalah merdeka dalam belajar yang akhirnya membawa dampak signifikan bagi perebutan kemerdekaan. Merdeka dalam belajar dari rentetannya telah membawa marwah bangsa Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan. Artinya pendidikan nasional memiliki peran penting dalam mengimplikasikan nilai-nilai pendidikan dalam memerdekakan pikiran akal budi bangsa kita.
Dalam pandangan ini, saya mempunyai cita-cita ke depannya melahirkan pendidikan yang merdeka bagi siswa. Karena saya seorang calon Guru Bimbingan Konseling, maka konteks utamanya adalah pendidikan karakter. Berbagai cara dapat ditempuh guna memberikan akses seluas-luas terkait minat dan bakat peserta didik. Bila ia sudah menemukan jati dirinya yang merdeka, sehingga ia akan mudah beradaptasi membentuk habitat yang baru menjadi pribadi-pribadi yang merdeka.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar