Seharusnya keberadaan trotoar menjadi sarana transportasi yang memudahkan bagi pejalan kaki. Namun, kini trotoar telah dialihfungsikan menjadi sarana lain. Misalnya di Kota Banda Aceh, ruas jalan beralihfungsi menjadi arena yang ‘nyaman’ bagi pedagang kaki lima, dipakai pengendara sepeda motor, hingga menjadi area parkir liar.
Dampak lain, beralihnya fungsi trotoar berpotensi mengakibatkan kecelakaan bagi pejalan kaki yang terpaksa masuk ke jalan raya. Saat trotoar beralihfungsi, kemacetan biasanya menjadi tak terelakkan. Karenanya aspek keselamatan dan kenyamanan trotoar perlu menjadi perhatian sejumlah pihak. Lantas apakah ini melanggar aturan lalu lintas angkutan jalan?
Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), Pasa 45 ayat (1) dikatakan bahwa fasilitas pendukung penyelenggaran lalu lintas dan angkutan jalan meliputi, trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, dan manusia lanjut usia.
Selanjutnya, jika kita berpedoman pada Daerah Milik Jalan atau DAMAJA disebutkan bahwa trotoar telah didesain memiliki elevasi lebih tinggi dari badan jalan. Sesuai DAMAJA ini pula, fungsi trotoar merujuk pada Departemen Pekerjaan Umum Tahun 1990, fungsi trotoar pertama sebagai jalur transportasi bagi pejalan kaki agar selamat dan merasa nyaman, kedua untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas baik kendaraan maupun pejalan kaki. Terakhir, guna menyediakan akses ruang di bawah trotoar menjadi tempat utilitas kelengkapan jalan.
Melihat acuan ini, dapat kita katakan bahwa trotoar seharusnya menjadi sarana transportasi bagi pejalan kaki untuk mobilitas dan prasarana jalan pendukung utama transportasi kendaraan. Artinya, trotoar ini secara tak langsung menjadi milik utama pejalan kaki.
Beralihnya fungsi trotoar di Kota Banda Aceh menjadi lahan parkir, dan sejenisnya, dapat disimpulkan sebagai pelanggaran lalu lintas karena tertutupnya akses bagi pejalan kaki. Padahal pada Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ disebutkan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.
Lebih lanjut, secara tegas terdapat sanksi yang diberikan bagi masyarakat yang memakai trotoar menjadi milik pribadi dan menganggu pejalan kaki. Bunyi Pasal 274 ayat (2) UU LLAJ yaitu memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan adalah dipidana dengan kurungan penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00. Selain itu, jika melakukan aktivitas atau perbuatan yang mengakibatkan gangguan fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.
Lalu, langkah apa yang sebaiknya diambil Pemerintah Kota Banda Aceh agar akses terbaik bagi pejalan kaki tetap tersedia. Sebagai salah satu kota di Aceh yang menerapkan Syariat Islam, Pemerintah Kota Banda Aceh harusnya juga memandang bahwa menghargai dan menjamin hak bagi pejalan kaki juga menjadi upaya menegakkan aturan agama.
Ruas jalan di Kota Banda Aceh memiliki banyak fungsi, yang tidak hanya digunakan untuk aktivitas harian baik ke sekolah, atau tempat kerja, akan tetapi ia juga berfungsi sebagai sarana menuju rumah ibadah. Pun demikian, pejalan kaki juga menggunakan trotoar menuju halte terdekat saat akan menaiki Bus Trans Koetaradja. Artinya, pemakaian trotoar di Banda Aceh cukup beragam, maka amatlah perlu menjadi perhatian pemangku kebijakan atas pemanfaatan ini. Karena kita tahu bahwa fungsi trotoar ini sebagai bagian dari sistem transportasi. Oleh karenanya ini sejalan pula dengan perbaikan jalan dan halte, maka trotoar juga harus menjadi tempat yang nyaman bagi pejalan kaki.
Secara konkrit, pemerintah dalam hal ini Kesatuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kota Banda Aceh harus melakukan upaya preventif maupun kuratif. Upaya preventif ini dengan melakukan sosialisasi melalui berbagai media baik baliho, radio, televisi, media cetak, dan media daring. Salah satu momen yang dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi adalah saat Pemerintah Kota Banda Aceh menyelenggaraan Car Free Day setiap hari Minggu.
Selain itu, tak salah pula Pemerintah Kota Banda Aceh dapat menggandeng pemuka agama menyampaikan dalam sesi ceramahnya bahwa menghargai pejalan kaki juga bagian menegakkan nilai-nilai Islam. Sementara itu, upaya kuratif melalui penegasan pelaksanaan fungsi pemerintah sebagai fungsi eksekutif dengan menindaklanjuti amanat UU LLAJ.
Jika selama ini PKL menjadi masalah dalam upaya pengembalian fungsi trotoar, maka Pemerintah Kota Banda Aceh perlu mencari solusi penataannya dengan merelokasi PKL ke tempat yang mudah diakses dan strategis. Tentunya, Pemko Banda Aceh harus tegas dalam artian melalui pendekatan yang humanis dan tidak arogan.
Selain itu, Pemerintah Kota Banda Aceh perlu memahami pentingnya peran pejalan kaki dan hak-haknya dengan membaca Laporan dari World Health Organization (WHO) berjudul Make Walking Safe: A Brief Overview of Pedestrian Safety Around the World.
Dalam laporan ini dikatakan bahwa keselamatan pejalan kaki adalah tanggung jawab bersama. Semua pengguna jalan memiliki peran dalam melindungi pejalan kaki. Namun, pemerintah dan mitranya harus memberi perhatian khusus melalui perundang-undangan, penegakan hukum, standar perlindungan pejalan kaki, dan desain yang dibangun untuk mencegah kecelakaan pejalan kaki.
Advokasi semisal membangkitkan tuntutan publik akan keselamatan pejalan kaki, termasuk anak-anak, orang tua, penyandang disabilitas sebagai pejalan kaki paling rentan juga dapat diterapkan. Upaya intervesi yang efektif guna melindungi pejalan kaki harus menggunakan pendekatan yang komprehensif dan berfokus pada kombinasi rekayasa, penegakan, dan pendidikan. Sehingga, melalui tindakan ini akan berkontribusi pada budaya keselamatan, pejalan kaki menjadi aman, dan menyelamatkan nyawa pejalan kaki.
Akhirnya, saat mendapati trotoar yang berfungsi pada semestinya, pemerintah telah menjamin kenyamanan pejalan kaki sesuai amanat Undang-Undang. Tinggal saja kapan dan bagaimana pemerintah melakukan aksi terbaiknya bagi masyarakat kota. Atau, ini hanya akan menjadi wacana klasik seperti klasiknya permasalahan ini yang tak kunjung diselesaikan.(*)
Opini sudah dipublikasikan di website matauro.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar