Selasa, 03 Mei 2022

Komunikasi Perdamaian Solusi Konflik Myanmar


Pemaparan Hsu Thiri Zaw dalam momentum ICONIC 2021 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry membuka mata pendengarnya. Terkhusus tentang negara yang sangat sulit diakses informasinya, yaitu Myanmar dulunya memiliki nama Burma. Mengawali paparannya, Hsu Thiri Zaw membahas tentang kedamaian. Ia mengumpamakan bahwa kedamaian layaknya kebahagian dan harmoni, meskipun manusia mencarinya ketika kehilangan cinta, rasa adil, dan kebebasan.

Dosen di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif dari lintas kelompok.


Paparan yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun, sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.


Keterkaitan komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui, setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya berjalan maksimal.


Kemajemukan masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.


Terkait  kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut. Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga dan melindungi bahasa etnis.


Masyarakat minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun 2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15 Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di Myanmar.


Kendati demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.


Hasil kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis. Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai khazanah identitas etnis tersebut.


Harapan perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab terhadap semua  masalah yang berkaitan dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)


2 komentar:

dJoe Salman Gea mengatakan...

Komunikasi Perdamaian yang diharapkan sebagai solusi konflik di Myanmar, semoga terealisasi adanya. Bukan hanya wacana, tapi terlaksana.

djoesalmangea.com

www.arifsaldacom mengatakan...

Iya betul bang, pemimpin negara2 asean harus punya solusi konkrit terhadap konflik di kawasan

Kata Saya

"Jabatan hanya persoalan struktural. Persahabatan selamanya."