Dosen
di National Management Degree College Republic of Union of Myanmar itu mengutip
kalimat Johan Galtung dan tokoh lainnya yang memaknai perdamaian positif dan
negatif. Dimaksudkan pula perdamaian perlu dipelihara dan upaya menciptakan
perdamaian berkelanjutan. Oleh karenanya, upaya ini membutuhkan dukungan aktif
dari lintas kelompok.
Paparan
yang diikuti para akademisi dunia itu, Hsu Thiri mencoba membuka ruang
kekosongan manajemen konflik melalui Komunikasi untuk Perdamaian. Ia
menambahkan untuk daerah konflik, peranan komunikasi amat penting. Namun,
sedikit sekali kehadiran komunikasi guna merekontruksi paca konflik, termasuk
adanya keberlangsungn perdamaian, pemerintahan, dan perkembangan jangka
panjang. Ia mencoba memberi solusi bahwa komunikasi dapat menjadi jembatan
rekonsiliasi konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, organisasi dapat
menggunakan komunikasi menjadi alat untuk mencegah konflik.
Keterkaitan
komunikasi juga menitikberatkan pada komunikasi kebudayaan, yang mana selama
ini perbedaan budaya telah menjadi penghalang berkomunikasi. Kita ketahui,
setiap orang memiliki banyak perbedaan dilatari kebudayaannya. Komunikasi
kebudayaan dianggap penting karena dapat diterapkan agar interaksi antar budaya
berjalan maksimal.
Kemajemukan
masyarakat dunia ini telah berupaya untuk menghargai perbedaan kebudayaan.
Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa kebudayaan dapat menjadi kunci upaya
resolusi konflik. Karenanya, komunikasi kebudayaan yang dibentuk komunikator
dari beragam praktik sesuai dengan latar kebudayaan yang berbeda pula.
Terkait kasus di Myanmar, Hsu Thiri menyebut Myanmar
memiliki 135 etnis resmi. Etnis Burma menjadi mayoritas dengan dua pertiga dari
populasi penduduk negara itu. Selama dijajah Inggris, wilayah etnis dikontrol
terpisah dari Burma pusat yang menjadi kawasan mayoritas kawasan tersebut.
Konflik etnis telah terjadi disini sejak kemerdekaan tahun 1949. Terjadinya
konflik ini tak lepas dari hak dan kebebasan etnis oleh rezim sosialis. Bahkan
terkait percetakan dan penerbitan tahun 1962 sekaligus adanya hukum sensor di
tahun 1965 sebagai upaya rezim menekan hak-hak etnis. Jadinya rezim menutup
publikasi bahasa etnis, hal ini diperparah tidak adanya lembaga yang menjaga
dan melindungi bahasa etnis.
Masyarakat
minoritas sebenarnya tetap memiliki trauma Burmanisasi yang bermakna hanya
etnis Burma yang memiliki kesempaytan dalam politik, bisnis, sosial, pendidikan,
dan pekerjaan. Minoritas tentu percaya bahwa federalisme dapat menjadi ruang
persamaan hak mereka. Namun, dalam sisi lainnya, beberapa masyarakat Burma
meyakini federalisme adalah ruang pemisah. Sebenarnya, Myanmar punya mimi untuk
perdamaan pada masa dimulainya demokrasi. Masa ini diawali U Thein Sein tahun
2010 yang menjadi masa emas perdamaian. Ditandai lahirnya 6 daerah otonom baru
wilayah etnis yang diatur Undang-Undang pada tahun 2008. Dilanjutkan
pembentukan Pusat Perdamian Myanmar guna mempercepat proses negosiasi
perdamaian. Penandatanganan perjanjian gencatan senjata nasional pada 15
Oktober 2015 menjadi bukti kontkrit lainnya dalam sejarah perdamaian di
Myanmar.
Kendati
demikian, ada hal yang terlupakan dalam proses perdamaian ini. Diantaranya
masih ada anggapan sebagain besar orang menghubungkan perdamaian dengan solusi
politigk, senjata, perang, dan lainnya. Beberapa konflik mencuat karena
kurangnya kehadiran komunikasi kebudayaan. Padahal komunikasi kebudayaan
menjadi aspek baru dalam proses perdamaian di dalam negara yang beragam etnis.
Hasil
kajian Hsu Thiri menyebut masyarakat Myanmar sebenarnya tidak paham komunikasi
kebudayaan dan manfaatnya dalam proses perdamaian. Masalah ini pun masih
menjadi kendala antar pemangku kebijakan, mereka tidak mampu membangun
kepercayaan kepada publik. Lantas apa yang semestinya dilakukan? Masyarakat
etnis di Myanmar sangat terikat dengan pembicaraan identitas etnis, terkhusus
promosi bahasa etnis. Karena jika tidak ada bahasa etnis, tidak ada identitas etnis.
Promosi ini diharuskan menjadi pembelajaran guna menjaga bahasa etnis sebagai
khazanah identitas etnis tersebut.
Harapan
perdamaian itu pun dapat dibangun melalui adopsi kebijakan keragaman budaya
melalui pendekatan antar etnis dapat diadopsi oleh daerah etnis yang lebih
besar. Sikap saling percaya dan pemahaman dapat membawa negosiasi perdamaian
menjadi mudah. Jadi, pemahaman keberagaman budaya dan adopsi kebijakannya
menjadi solusi terbaik. Usaha pemerintah dalam komunikasi kebudayaan dan
multikulturalisme dapat ditempuh dengan beragam cara. Meliputi tindakan
afirmatif pemerintah. Di Myanmar, Kementerian Urusan Etnis bertanggungjawab
terhadap semua masalah yang berkaitan
dengan hak etnis, tradisi, budaya, dan norma. Sejauh ini, telah dilakukan Pendidikan
Bahasa Ibu sebagai upaya mempromosikan identitas etnis. Menyatakan hukum
perlindungan atas hak-hak etnis nasional dan komitmen pemerintah memberikan
dukungan dapat membentuk perjalanan menuju perdamaian. (*)
2 komentar:
Komunikasi Perdamaian yang diharapkan sebagai solusi konflik di Myanmar, semoga terealisasi adanya. Bukan hanya wacana, tapi terlaksana.
djoesalmangea.com
Iya betul bang, pemimpin negara2 asean harus punya solusi konkrit terhadap konflik di kawasan
Posting Komentar