Saat Mak Menghadiri Wisuda Saya |
Sudah setahun Mak tiada. Hari ini, di tahun lalu, 14 Maret
2018, nafas Mak terhenti. Sebulan, setelah Mak datang ke Banda Aceh menghadiri
wisuda abang kandung saya, Muhadzdzier. Saya sangat kaget. Betapa tidak,
sebulan lalu itu, Februari, saya masih menatap wajahnya. Berbicara, bahkan
tidur dalam pangkuannya. Betapa pun usia saya bukan lagi kategori anak, telah
dewasa, tapi tidur di pangkuan ibu adalah kehangatan.
Saya teringat, saat di rumah, masa kecil, tidur dalam
pangkuan ibu hingga terlelap. Menemaninya menonton televisi, atau saat konflik berkecamuk,
rasa takut saya seakan berkurang, jika di samping Mak. Sepeninggal Ayah pada 5
Maret 1999 silam, Mak menjadi tulang punggung kami. Uang pensiunan Waled rasanya
tak cukup untuk menghidupi kami semua anaknya. Mak harus mendidik kami. Lima
lekaki, tiga perempuan. Bayangkan mendidik delapan anak di suasana sebelum dan
sesudah konflik berkecamuk di Aceh, ditambah pasca gempa dan tsunami, bukan hal
yang mudah.
Semisal saat kejadian di malam Selasa, kurun waktu di atas
tahun 2000-an, pohon kelapa di dekat badan jalan gampong kami ditebang OTK. Suara
rongrongan senso menyelinap masuk dalam hati saya. Takut. Itu yang saya
rasakan. Saya dan Mak berdiri di depan kios keluarga. Robot warna kuning –bisa
diotak-atik menjadi mobil– saya pegang erat. Dan Mak menemani saya. Akibat pohon
kelapa yang ditebang itu, mengenai tiang listrik. Seketika listrik seluruh gampong
mati. Malam itu begitu mencekam. Saya sangat khawatir bila akan terjadi lagi
kontak senjata. Namun, lantaran ada Mak di samping, seolah takut itu
menghilang. Saya ada ‘payung’ untuk berteduh dari konfik.
Lain lagi, saat saya dan Mak mengunjungi rumah saudara Mak seibu
tapi tidak seayah. Di gampong tetangga itu, kebetulan hari itu ada kenduri
keluarga. Jalan setapak di kebun-kebun warga kami lalui. Kawasan perkebunan
kelapa itu kami sebut Kuta Baro. Saat dalam perjalanan pulang lagi ke rumah, di
pertengahan, hujan menghampiri kami. Mak takut kalau air hujan membasahi kepala
saya. Untuk itu, Mak membuat topi dari on
keurusong (daun pisang kering berwarna coklat muda). Saya memakainya, rasa
senang dibuatkan topi sedemikian rupa. Mak selalu ada cara untuk melindungi
saya.
Begitulah Mak melindungi kepala saya. Begitu pula saat Mak
memangkas rambut saya dan semua anak-anaknya. Gunting khusus dipersiapkan,
pisau cukur juga demikian. Di bangku warna coklat itu, Mak pelan-pelang
memangkas rambut saya. Helaian rambut yang jatuh membuat saya geli minta ampun.
Entah dari mana, Mak bisa memangkas rambut. Hingga kemudian saya tahu, Mak
memotong rambut bukan hanya karena menghemat biaya rumah tangga, tetapi upaya
mendekatkan saya dengan beliau. Selama kecil hingga SMA, Mak akan sigap
memotong rambut saya. Di pangkas dengan rapi dan penuh kesabaran. Meski
menginjak remaja, saya tidak pernah malu jika rambut dipangkas oleh Mak. Jika
sudah selesai memangkas, Mak akan berujar begini.
“Kiban nyak, pu jeut
lagee nyoe?” (Gimana
nak, apa sudah bisa begini?”)
Mak sangat bahagia saat mengetahui saya mendapat juara kelas
dan juara umum sekolah. Atau juara lari bendera saat TK, atau pula saat juara
tiga menggambar tingkat kabupaten. Lalu Mak akan menceritakan kepada kerabat
dan kawan-kawanya tentang saya. Karena demikian, saya pun jadinya terkenal. Mak
saya memang setamat sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun –setingkat SMP
masa sekarang– tidak melanjutkan sekolahnya. Tetapi, kepintarannya sungguh luar
biasa. Pengetahuannya luas, karenanya, sebelum diantar ke tempat pengajian, Mak
yang mengajari kami belajar alif ba ta sa. Atau, selalu peduli Pendidikan anak-anaknya.
Alhamdulillah, semua anaknya yang delapan punya ilmu agama dan selesai sarjana.
Pernah suatu ketika, saya agak kesal saat Mak tidak
membolehkan saya bersepeda usai Subuh di bulan Ramadan. Dari waktu Subuh hingga
matahari menampakkan cahayanya, kami tidak boleh keluar rumah. Abang-abang dan
saya diajari Mak mengaji Alquran. Padahal, bersepeda di waktu itu adalah
kebahagian bagi saya. Maka, Mak mengajari kami dengan didikan karakternya.
Sebab itu, sebenarnya Mak tidak mau anak-anaknya buta Alquran. Maka Mak pun pernah
berujar.
“Beu na tingat keu Waled dan Mak. Beuna gata kirem doa-doa dan ayat pendek niet hadiah pahala keu kamoe beuh nyak.” (Ingat Waled dan Mak ya. Kirimlah doa-doa dan ayat pendek, niatkan pahalanya untuk kami ya nak)
Hari-hari saya lalui bersama Mak. Tak terkecuali bila Mak menggarap
sawah. Hari libur atau pun sepulang sekolah, jika musim turun ke sawah tiba,
sudah pasti saya Bersama Mak. Usai Subuh, nasi pagi dengan lauk sudah tersedia.
Minuman dan kue ke sawah juga telah ada. Kami berangkat, bersama Mak menggarap
sawah. Dari mulai tanah dipersiapkan, disiapkan bakal benih padi, ditanami,
merawatnya, hingga masa panen sudah tiba. Mak mengisi hari-harinya demikian.
Bila waktu kosong, terkadang Mak ikut menjadi buruh tani menanami padi orang.
Tentu selain mencari tambahan biaya, agar Mak juga punya kawan.
Saya teringat betul, bila masuk masa usia padi siap ditanam. Sehari
sebelumnya, Mak mempersiapkan segala penganan. Seperti timphan. Maka, malamnya
kami isi membuat timphan bersama. Parutan kelapa yang telah dimasak dengan gula
menjadi isi timphan. Maka, saat capai esoknya, rasa manis dan legitnya timphan
ditambah segelas air putih, seolah sirna sudah lelah ini. Sebab, dalam seharian
itu, kebetulan Mak menyewa buruh tani seharian terus. Jadinya, sekalian lelahnya.
Maka, malamnya Mak akan menyuruh abang tertua untuk membeli mie. Itulah cara
asik Mak membersamai kami. Oleh sebab itu, Mak akan selalu menasehati kami
tentang padi, beras, dan nasi. Menjaganya agar berkah hidup.
“Beu abeih nyak pajoh
bu, bek neu boh-boh bu. Hek that tajak u blang.” (Dimakan habis ya nak nasinya,
jangan dibuang-buang. Lelah sekali kita bersawah)
Petuah inilah yang membuat saya akan menyantap habis nasi. Hingga
kini dan seterusnya. Petuah ini akan saya ajari pula saat saya berkeluarga
hingga suatu saat memiliki anak.
Bila panen padi telah usai. Agar sawah tak sia-sia. Mak
mengajak kami menanami kacang hijau, kacang kuning, hingga jagung. Pernah suatu
ketika, baru beberapa baris bulatan tanah kami isi tiga-empat biji kacang
hijau, suara tembakan senjata berduyun-duyun datang. Mak dan saya langsung
tiarap. Tanpa alas apapun! Dentuman senjata beruntun itu, membuat saya sungguh
takut. Mak juga demikian. Barulah seolah hilang, saat suara tembakan juga
hilang. Tetapi, kenangan akan selalu hadir. Ditambah, rombongan pembawa senjata
melewati dekat sawah kami, sungguh kekhawatiran bertambah-tambah. Bisa saja,
konflik mendekati kami dan nyawa melayang! Tapi, mak meneduhkan saya. Beliau tak
panik, tentu doanya selalu hadir bagi saya.
Petir yang kadang datang tidak menentu. Kadang membuat siapa
pun kecut. Di sawah, di tempat terbuka itu, petir akan mudah menyambar siapa
saja. Langit yang gelap di hari itu, membuat Mak dan kami memutuskan untuk pulang.
Khawatir akan terjadi apa-apa. Setiba di rumah, barulah hati Mak dan saya
menjadi tenang.
Mak adalah rumah bagi saya, selain rumah dalam kenyataannya. Kampung
kami pernah dihinggapi banjir tahun 2002 silam. Rumah dapur dihinggapi air di
atas mata kaki. Rumah Mak yang hanya 200-an meter dari sungai, membuat saya
khawatir. Bagaiman bila sewaktu-waktu airnya meluap? Tetapi, berada di samping Mak
dan meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Air akan segera surut.
Sepulang, dari sekolah, biasanya saya akan membantu Mak
memasak. Memotong sayur hingga membantu mengambil kayu-kayu tua dan sabut
kelapa sebagai kayu bakar. Begitulah yang membuat Mak senantiasa dekat dengan
saya. Apalagi saat tiba bulan Maulid atau bulan Ramadan. Kebahagian itu
bertambah, saat menyantap masakan Mak. Kini, semuanya menjadi kenangan.
Mak adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Memiliki nama lengkap Nazariah Binti Abdullah. Di malam Kamis, setahun lalu itu, jam 23.30 WIB Mak meninggal.
Pada harinya, Mak dikebumikan berdekatan dengan makam Waled. Di pemakaman
keluarga itu, kumandang azan abang tertua, membuat suasana semakin haru. Saya
tidak tahu bagaimana sudah perasaan berkecamuk. Antara percaya atau tidak. Tetapi,
saya harus ikhlas. Mak menghadap pencipta-Nya. Begitulah Mak bercerita semasa
hidupnya.
Kini tidak ada lagi tempat saya rebahan di pangkuannya.
Mencicipi asam u, asam udeung, bu minyeuk,
atau masakan terenaknya menghinggapi mulut ini. Atau mendengarnya membalas
salam saya saat tiba sepulang dari Banda Aceh. Tidak ada lagi tempat saya
menghabiskan malam-malam bercerita dengan Mak. Begitu pula, tak ada lagi tempat
saya berbagi kabar bila meraih juara. Suaranya yang khas itu dan senyum mak
menyambut saya, tak ada lagi. Hanya doa dari saya dan berharap selalu dapat menjumpainya
dalam mimpi. Karena, hanya itu hal yang saya punyai. Setiap kali Mak hadir
dalam mimpi, Mak selalu senyum. Dalam sekejap itu, sungguh berarti. Meski Mak
telah tiada, Mak selalu menginspirasiku. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar