Dicetuskannnya Agustus menjadi
Bulan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, adalah keputusan
yang bagus. Bahagianya mendengar bulan ini menjadi Bulan Kemerdekaan. Saya yang
besar dan lahir di Aceh, mulai merasakan kemederkaan sejak lahir. Pun demikian,
hal ini tidak serta merta merdeka ketika beranjak memasuki sekolah dasar. Perseteruan
GAM dengan RI membuat akses kami kacau. Konflik militer itu telah membuat sipil
hilang hak yang sebenarnya. Dulu, ketika konflik terjadi, saya sekeluarga harus
tiarap menghindari kontak senjata. Ditambah kecamuk psikologis, sungguh
menganggu jiwa saya. Kini, sejak 15 Agustus 2005, GAM dengan Pemerintah
Indonesia telah berdamai. Dua hari selanjutnya di tahun yang sama, kami
merayakan 17 Agustus dengan penuh kebahagian, hingga kini.
Maka wajar, bulan Agustus, tepat
sekali menjadi Bulan Kemerdekaan. Satu sisi kami telah merdeka dari penjajahan
Belanda dan Jepang sejak 1945. Kini pun kami telah ‘merdeka’ dari yang namanya
konflik senjata. Lalu, ketika telah mendapatkan dua momen merdeka di Bulan
Kemerdekaan, apakah kami selamanya euforia dengan capaian tersebut? Ternyata tidak!
Pekerajaan Rumah (PR) besar menanti segenap elemen yang hidup di Aceh. Tugasnya
adalah apakah kami sanggup merawat perdamaian ini?
Ketika terpilihnya Irwandi Yusuf
sebagai Gubernur Aceh untuk kedua kalinya, yang nampak pada masyarakat adalah
semangat hadirnya kembali wujud cinta damai. Ini dibuktikan dengan Pilkada Aceh
2017 adalah Pilkada paling damai, dibandingkan Pilkada 2012 silam yang
merenggut nyawa masyarakat sipil. Masyarakat kini mulai sadar, untuk membenahi
suatu daerah, perlu partisipasi semua pihak. Ada hal baru yang ditawarkan
Irwandi, misalnya memberikan bantuan rumah kepada dhuafa dan anak yatim
bersumber dana dari donatur. Padahal, dana tersebut awalnya akan digunakan
untuk merayakan terpilihnya Irwandi sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022.
Program kerja politiknya sejalan dengan Presiden Jokowi. Jika sang presiden
mengusung jargon Indonesia Hebat, maka sang gubernur – yang memiliki pesawat
itu – mengusung jargon Aceh Hebat.
Melihat keseriusan dua tokoh
politik ini, ada kesamaan visi di antara keduanya. Indonesia ini sungguh luas,
memiliki kehidupan majemuk yang luar biasa. Tanpa adanya kesinambungan bersama,
tentu program-program nasional takkan berjalan tanpa ada dukungan oleh
regional.
Mengubah Indonesia, dapat dimulai
dari mana pun. Salah satunya Aceh. Wilayah bekas kerajaan itu sebagai provinsi
paling ujung, memiliki PR besar setelah 12 tahun mendapatkan kemerdekaan. Usia tersebut
memasuki usia remaja. Tantangan di depan perlu mendapatkan perhatian bersama. Bangsa
yang besar, akan mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakatnya.
Sungguh miris saat melihat data
pada tahun 2016, persentase minat baca masyarakat Indonesia untuk dunia pada
angka 0,0001%. Jika Soekarno masih hidup, tentu beliau akan sangat sedih. Seolah
tak ada manfaatnya usaha beliau mengurangi buta aksara di masa itu yang bahkan
mendapatkan pujian dunia. Status facebook
Reza Idria – mahasiswa doktoral Harvard University – beberapa waktu lalu
mengatakan sangat senang melihat orang yang membaca, karena menurutnya orang yang
seperti itu sangat langka!
Kota Banda Aceh yang menjadi
ibukota Provinsi Aceh mestinya menjadi ujung tombak dimulainya kebudayaan baru.
Sebab itulah, mengutip pernyataan Ridwan Kamil “Anak muda bukan mencaci maki, tapi memberi solusi”, nampaknya
harus diamini dengan baik oleh anak muda Aceh. Kebiasaan nongkrong di warung
kopi yang menurut pantaun saya hanya mampu melahirkan debat kusir malah menjadi
bahan diskusi omong kosong belaka. Berbeda ketika diskusi tersebut dibumbui
dengan hasil bacaan masing-masing. Tentu ini menjadi budaya baru dalam
melahirkan generasi emas Indonesia. Orang-orang akan berubah dengan
kecerdasannya. Akan peka terhadap situasi sosial, semakin banyak membaca,
ide-ide kreatif aka muncul, hoax akan kabur!
Indonesia kini telah berusia 72
Tahun, apa pantas selamanya kita mengutuk kegelapan, tanpa berupaya menghidupkan
titik terang untuk membenahi nusantara? Indonesia Kerja Bersama yang menjadi
tema merayakan kemerdekaan Indonesia 72 tahun, salah satunya adalah kerja
bersama mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sumbangsih yang nyata untuk
negara. Mulai kurangi penggunaan gawai yang berlebih, saatnya kita membaca,
mengajak orang-orang minat membaca. Dengan begini, kerja-kerja kebangsaan akan
membuahkan hasil yang nyata, untuk perubahan bersama, agar Indonesia
benar-benar bercahaya. []
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba "Flash Blogging 72 Tahun RI, Indonesia Kerja Bersama" yang diadakan oleh Direktorat Kemitraan Komunikasi, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar