Ilustrasi/google |
Apa yang begitu keji ketika konflik berkecamuk lalu beraduk? Ketika merebut ruang pendidikan anak-anak. Tepatnya enam ruang kelas dibakar, termasuk ruang guru disertai ruang kepala sekolah di dalamnya.
Saya tahu sekolah saya dibakar GAM pada malam harinya. Ibu memberi tahu saya. Sebagai anak kecil, hanya bisa bengong tak ada gaya apa-apa. Seperti pasrah menerima keadaan, namun benih-benih kekecewaan mulai tumbuh dalam jiwa saya. Katanya pejuang rakyat, kenapa malah membakar fasilitas rakyat? Begitu saya memikirkannya masa itu.
Saya tahu sekolah saya dibakar GAM pada malam harinya. Ibu memberi tahu saya. Sebagai anak kecil, hanya bisa bengong tak ada gaya apa-apa. Seperti pasrah menerima keadaan, namun benih-benih kekecewaan mulai tumbuh dalam jiwa saya. Katanya pejuang rakyat, kenapa malah membakar fasilitas rakyat? Begitu saya memikirkannya masa itu.
Kawan-kawan saya pagi itu hanya bisa termenung. Para murid 'ingusan' itu telah lengkap 'baret' untuk belajar. Apa yang didapat? Gedung kelas mereka telah hitam legam. Kalau tak salah ingat, masa itu saya baru menaiki kelas IV SD. Salah satu guru favorit masa itu adalah Pak Ja'far. Yang ternyata kenal dekat dengan Almarhum Bapak Saya. Pak Ja'far dan guru-guru kami lainnya hanya bisa termenung, ingin memberontak tapi tak bisa. Mereka sama sikapnya seperti para murid. Terpaku, hanya bisa berharap sekolah segera dibangun yang baru.
Sebelum di bangun gedung sementara, kami terpaksa belajar di masjid dekat sekolah. Yang masih dalam tahap pembangunan. Tapi, kami menunggu dibangunkan sekolah dalam tempo lama.
Tapi, yang begitu menyedihkan dan mencederai kecerdasan, satu-satunya perpustakaan sekolah saya dibakar. Masa itu mereka disebut OTK. Padahal jelas siapa biang kerokannya. Hingga pun kami terpaksa mengatakan "Sekolah kami terbakar", dan dilarang mengatai "Sekolah kami dibakar!"
Padahal, masa itu saya sedang asyiknya membaca. Untuk tiap kelas diberikan jatah meminjam buku dan setiap hari bebas membaca apa saja di sana. Salah satu buku yang saya baca judulnya "Lestari". Pada buku itu saya belajar tentang hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Secara tak sadar, buku mendekatkan saya pada cinta lingkungan.
Hingga tamat sekolah, saya tak lagi menikmati buku bacaan dari sekolah tersebut, sebab tak kunjung dibangun karena diutamakan membangun gedung belajar terlebih dulu. Saya sedikit bangga, karena tropi pertama yang didapat sekolah itu adalah dari saya, berkat juara tiga menggambar tingkat kabupaten. Ini semacam perlawanan saya kalau diingat-ingat masa sekarang. Pun orang-orang yang telah membakar itu harus tahu bahwa ada banyak mimpi dan cita-cita generasi yang akan mengubah pola pikir dan pola kebiasaan masyarakat Aceh.
Orang-orang tak bertanggung jawab itu harusnya malu membuat generasinya merosot dalam pendidikan. Alih-alih katanya gedung sekolah itu milik pusat, masa itu pun mereka tidak memberi ruang pendidikan lain. Pun sekarang tak lagi memegang senjata, jadinya renteng tas, pulpen meusak lam keih, ruang pendidikan kami masih sama. Sama-sama gelapnya seperti perusahaan listrik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar