Pas ketika saya memarkirkan
sepeda motor, selang menit sebelumnya Idrus Bin Harun telah duluan tiba. Saya
disambutnya. Bersamanya, saya diajak menuju ke ruang pameran bertajuk Field
Trip Project Asia. Dalam perjalanan itu, lelaki pegiat di Kanot Bu itu
membeberkan bahwa, salah seorang seniman, sehari sebelumya agak kepanasan berada
di ruang lantai 2 Museum Tsunami Aceh itu saat mempersiapkan pamerannya. “Kayaknya,
dia kepanasan lantaran gak ada celah angin masuk ke ruang itu,” sebutnya sambil
lalu. Pria yang kerap disapa Idrus itu, berkesempatan mempresentasikan hasil
karyanya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan. Instalasi ini – tentu jauh hari
sebelum perhelatan seni ini yang diikuti seniman mancanegara – idrus pastinya
sibuk memikirkan konsepnya.
Di kesempatan itu, Idrus menyebut proses Bikin Rumah-Rumahan ini mewakili ingatan tentang betapa terkurasnya energi kita membereskan Aceh.
Saya agak heran awalnya, kenapa
Idrus membuat instalasinya dengan atap setengah? Terkesan rumah itu tak siap. Gergajinya
pun diletakkan begitu saja, rumah itu nampak tak terawat, hal ini terbaca
lantaran ada dedaunan yang jatuh di lantai. Sungguh rumah tak siap jadi!
Idrus komat-kamit menjelaskan produk instalasi seninya yang diberi nama Bikin Rumah-Rumahan |
Idrus mengatakan Bikin
Rumah-Rumahan adalah upaya pembangunan kembali rumah tinggal paska tsunami,
walau terengah-engah menyelesaikannya karena pemegang proyek nakal, rehab-rekon
suskes mengubah wajah Aceh. Olehnya, dia menyebut, di masa itu, pemerintah, di
beberapa tempat yang dilanda bencana tsunami, pembangunan rumah asal-asalan.
Banyak pemegang proyek baik
kontraktor hingga pihak terkait bermain celah mendapatkan ‘uang lebih’ dari
tiap per rumah yang dibangun. Maka pun jelas kini, temuan rumah yang dibangun
dengan material yang tidak sesuai standar, jadilah ‘Rumah-Rumahan’. Terma ini
sejalan dengan masa kecil kita. Saat bermain ‘Rumah-Rumahan’, anak-anak tidak
seserius itu membikin rumah seperti halnya arsitektur mengkonsep tiap rumah
mewah. Selepas dibuat batasnya dengan tanah, selepas itu pula dirusak kembali
baik oleh tangannya, maupun kaki ayam hingga bebek. Barangkali, begini pula
kejadian rehab-rekon. Jika disingkat, Bikin Rumah-Rumahan ini jadilah BRR.
Kayaknya Idrus ingin menyinggung Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR),
yang baginya belum maksimal dalam bekerja untuk kepentingan para korban tsunami
Aceh.
Salah satu kurator pendamping
Field Trip Project Asia, Daisuke Takeya, menyebut kegiatan ini terilhami karena
biasanya materi tentang bencana acapkali berat diperbincangkan. Olehnya, dia
memanfaatkan tas sekolah bekas yang penuh dengan ragam memori saat gempa Jepang
2011 silam.
“Bagi
anak-anak Jepang, tas-tas ini selalu tergambarkan berat dan meletihkan. Penuh
buku dan peralatan sekolah. Namun, dalam pameran ini, tas-tas ini telah diubah
menjadi ringat dan menyenangkan. Merawat memori untuk melangkah ke depan”, begitu tulis Titou dalam spanduk pameran itu.
Pameran yang diadakan di lantai 2 gedung Museum
Tsunami Aceh itu, ternyata benar seperti yang tercantum dalam spanduk. Daisuke
turut memperkenalkan seni instalasinya. Dia mengubah dan menambah sayap pada
tas. Bukan produk seni itu yang utama sebenarnya. Pria Jepang yang kini menetap
di Kanada itu mengatakan, tas bersayap ini dimaksudkan jika ada orang yang
ingin menggunakannya, apalagi untuk anak-anak, diharuskan adanya bantuan orang
dewasa. Untuk keluarga, seni ini sangatlah bagus, interaksi luar biasa akan
tercipta antara ayah/ibu dengan anak-anaknya.
Pengunjung sedang mencoba produk instalasi Daisuke |
Bersebelahan dengan tas ubahan itu, di sampingnya
juga ada tas yang dijejerkan pada batang kayu pada kedua ujungya. Jika ingin
seimbang, harus ada dua orang memakai tas tersebut ditiap ujungnya, agar
seimbang. Lagi-lagi, interaksi tercipta dari karya seni ini. Belum lagi ada tas
yang dilengkapi dengan seperti sayap capung. Ada tas yang perlu diputar, agar
kita mampu membaca setiap alur ceritanya.
Field Trip Project Asia sedianya telah mengubah
benda-benda yang tak ternilai, menjadi penuh makna dan ragam manfaatnya. Ada banyak
cara menghadirkan orang-orang untuk saling berbicara, bersosial, di tengah
gempuran kaum gawai yang sudah menggerogoti ruang diskusi kita akhir-akhir ini.
Pun seni adalah jembatan membawa orang-orang untuk hidup dalam keindahan,
belajar pada benda-benda yang tak terpakai di awal membawa kesan berlebih. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar