Lelaki yang sering disapa Pak Yarmen itu komat-kamit
menjelaskan perihal dunia ilmu jurnalistik. Redaktur Pelaksana koran harian Serambi
Indonesia itu menjelaskan dengan runut dari tiap materinya. Saya yang
berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut mendengar materi hingga usai workshop sorenya. Beberapa ilmu terkait
jurnalistik saya lamat dengan baik. Penjelasan Pak Yarmen yang lugas dan jelas
itu memudahkan saya memahami dasar-dasar jurnalistik. Salah satunya adalah
terkait pemilihan kata dalam tulisan rilis berita.
“Banyak sekali kesalahpahaman kata-kata di tengah masyarakat
kita dan parahnya berlangsung turun temurun,” sebutnya. “Nampaknya masyarakat
kita seolah membiasakan yang biasa, padahal salah,” ujarnya lagi.
Pak Yarmen lalu menyebut penggunaan kata ‘sarana dan prasarana’.
Dua kata ini digabungkan menjadi satu padanan makna baru. Saya coba memaknai
pada gabungan kata lainnya. Seperti halnya penyebutan gabungan kata terima
kasih, lalu lintas, tanggung jawab, dan ragam gabungan kata lainnya. Hanya
saja, yang membedakan pada gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ terdapat kata
penghubung ‘dan’. Pun demikian, gabungan kata ini oleh masyarakat Indonesia
telah mengganggap hal yang biasa. Sepintas, saya jadi teringat bahwa sejak mulai
bisa membaca, gabungan kata ‘sarana dan prasarana’ sering saya dengar dan baca
dalam perbincangan atau buku bacaan hingga produk hukum yang menjurus kepada
penulisan bagian di sebuah kantor pemerintahan.
Saya pun teringat, bersamaan dengan hal itu, dalam sebuah
perjalanan liputan bakti sosial, seseorang yang satu mobil dengan saya berujar
bahwa bapak fulan bekerja pada bagian Sarpras. Akronim tersebut dimaksudkan
pada pemendekan bacaan untuk gabungan kata ‘sarana dan prasarana’. Saya hanya
mangun-mangun saja waktu itu. Tidak ada yang aneh, karena gabungan kata ‘sarana
dan prasarana’ sudah lazim terdengar dan ditulis. Pun demikian, jabaran dari Pak
Yarmen, sempat membuat saya berpikir ulang, apa macam tiba-tiba kata yang sebenarnya
adalah ‘prasarana dan sarana’?
Pria yang memiliki kulit putih tersebut seperti tak pernah
berhenti menjelaskan pada bagian itu. Dia menjelaskan perumpamaan pemakaian
kata ‘prasarana dan sarana’. Jika kita ingin membangun sebuah sekolah,
sementara di samping sekolah tersebut ada sungai atau irigasi. Tentu, yang
harus di bangun dulu adalah jembatan ke sekolah tersebut. Jembatan dimaksudkan
sebagai pewujudan kata ‘prasarana’ dan sekolah sebagai pewujudan dari kata ‘sarana’.
“Kalau duluan kita tulis kata ‘sarana’ dan seterusnya diikuti
kata ‘prasarana’, artinya kita duluan bangun sekolah baru bangun jembatan. Coba
dibayangkan,” sebutnya. “Jadinya, yang benar adalah membangun jembatan dulu
(prasarana), setelah itu selesai baru kita bisa membangun gedung sekolah (sarana)
dan fasilitas lainnya,” tambahnya lagi.
Hari itu, Pak Yarmen menganjurkan agar kesalahan ini jangan
sampai terulang. Menurutnya, ini sudah jadi kesalahan berjamaah dan berzaman. Hampir
bisa dikata telah hidup dalam pembiaran. Bersebab, kesalahan ini terjadi dari
pusat hingga ke daerah-daerah. “Saya berharap, kita semua dapat menyebarkan
informasi ini kepada semua orang. Kita punya tanggung jawab memperbaikinya.”
Menelaah pada salah satu produk hukum yang menyangkut pemakaian
kata ‘sarana dan prasarana’, jika merujuk pada UU Standar Nasional Pendidikan
Tahun 2003 Nomor 20 Pasal 35, jelas-jelas tertulis begini “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala.”
Kendati pun jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peratuan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 Poin
9 berbunyi “Standar Sarana dan Prasarana adalah kriteria mengenai ruang belajar, tempat
berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja,
tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi serta sumber belajar lain, yang
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi.”
Bayangkan, tiga buah produk hukum berkenaan dengan standar
nasional pendidikan dari 2003, 2005, dan 2013 terhitung 10 tahun lebih negara
kita abai dalam hal remeh temeh pemakaian kata ‘sarana dan prasarana’. Ini
belum lagi kita mengecek pada produk hukum UU pada tahun sebelumnya dan pada
produk hukum bidang lain, baik olahraga, kesehatan, ekonomi, politik, keuangan
dan bidang setara lainnya. Artinya, untuk tingkatan kementerian yang membidangi
perihal pendidikan masih juga salah dan abai hanya untuk penggunaan kata sarana
dan prasarana yang seharusnya prasana dan sarana.
Saya sempat menanyakan via kotak masuk facebook kepada Reza Idria yang merupakan mahasiswa doktor di
Harvad University, Amerika Serikat. Saya tertarik menanyakan berkaitan awal
mula penggunaan kata ‘prasarana dan sarana’ dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Menurutnya, kemungkinan yang paling dekat adalah tinjauan asal kata
yang dipakai, kata sarana itu berasal dari bahasa sanskrit. Bahasa yang kalau
kita tahu lebih dahulu dikenal dan diadopsi oleh bahasa Melayu/Indonesia.
“Sementara penambahan kata pra- dalam kata sarana menurut
saya baru dikenal belakangan setelah kita bersentuhan dengan Eropa secara
awalan tersebut berasal dari rumpun bahasa Eropa ‘pre-‘ yang artinya ‘sebelum’.
Penggunaan awalan ‘pra’ lalu juga dilekatkan pada kata-kata lain. Kasus di atas
tidak hanya terjadi pada kata sarana dan prasarana, tapi juga syarat dan
prasyarat,” ujar pendiri Komunitas Tikar Pandan itu.[]
1 komentar:
Mantap.
Posting Komentar