Saat mengunjungi kosan saudara kandung saya,
di pertengahan tahun 2010 lalu. Di muka pintu kamarnya, saya memperhatikan
kata-kata yang sangat menarik dan berisi. “Ketika
pers dibungkam, sastra harus bicara”, saya menatap dengan lamat. Penggalan
kalimat ini – selaku awam sastra masa itu – memberikan pencerahan bahwa,
ternyata ada jalan lain ketika dunia jurnalistik bisa dilawan oleh
pemerintahan. Saya yang besar dalam dunia konflik Aceh sedang berkecamuknya,
tentu dengan kalimat itu menelisik batin dan pikiran saya untuk mengenal sastra
lebih dalam.
Hingga tahun-tahun kemudian, saya baru tahu
ternyata, kalimat itu diutarakan Seno Gumira Adjidarma (SGA) semasa konflik
Timor-Timor – sekarang menjadi negara Timor Leste – pada dekade 1990-an. Oleh
SGA, pikirannya itu kemudian dibukukan dengan gubahan judul menjadi “Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Sialnya, saya belum membaca
bukunya. Dan bisa jadi, minat baca orang Indonesia – yang 0,01 % itu di
tingkatan dunia – sayalah salah satu penyebab kemundurannya.
Cerpen SGA yang berjudul “Pelajaran
Mengarang” karyanya mengkritik sistem pendidikan kita yang kaku dan terkesan
melahirkan pelajar robot. Cerpen ini membuat pikiran Sandra – yang dijadikan
SGA objek utama cerita dan siswa SD berusia 10 tahun – terhambat topik yang
diberikan gurunya, tidak diberikan kebebasan berpikir. Hingga kini, ternyata
kondisi pendidikan kita pun masih sama! Anak-anak sejak dari SD hingga SMA
‘dipaksa’ menelan semua ilmu mata pelajaran. Selain itu, dalam cerpen ini turut
diutarakan kondisi keluarga masyarakat urban. Karena kondisi entitas sosial negara,
membuat orang tua Sandra mencari profesi yang gampangan dan akibatnya Sandra
menjadi pelampiasan kemarahan keluarganya dengan kata-kata tak baik.
Jauh, jauh sebelum Seno mengkritik pemerintah
lewat kata-katanya. Adalah Pramoedya Ananta Toer – satu-satunya putra bangsa
Indonesia sebagai nominator peraih hadial nobel sastra. Olehnya, rezim Orde
Baru Soeharto dibuat kalut lantaran karya Pram dianggap masih berbau rezim Orde
Lama Seokarno. Pram diungsikan ke Pulau Buru dan karyanya dibakar rezim, begitu
menyakitkan! Aksesnya ke media, usai pergulatan 1965 dibungkam. Media semacam
kertas sak semen disimpannya dengan baik, disanalah seluruh karya Pram di Pulau
Buru lahir. Salah satunya novel roman “Bumi Manusia”.
Ketika ke Batam 2015 silam,
saya cepat-cepat ke sebuah toko buku ternama, mencari buku itu. Dan dekade
akhir 2016, saya hampir saja menyelesaikannya. Jika boleh dikata, novel roman
ini menunjukkan perbedaan kelas pribumi dengan non-pribumi – sebut saja orang
Eropa. Namun, saya tidak memandang bahwa ini perbedaan soal kebangsaan saja,
tetapi dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian, hingga kinipun, rasanya
pemerintah masih abai soal status perbedaan antara si kaya dengan si miskin.
Masyarakat kita pun sama saja, saat melihat orang berbaju perlente, rapi,
mempunyai mobil akan memberikan perhatian dengan begitu dilebih-lebihkan.
Sementara saat masyarakat miskin menjumpainya, mereka akan dilihat dengan ujung
mata dan sering dianggap sebagai peminta-peminta. Lagi-lagi, ada yang salah
dalam pendidikan kita. Hingga usai jatuhnya rezim Soeharto, Pram baru
benar-benar punya ruang untuk menulis. Dia mampu menjadi inspirasi penulis
pemula dalam tiap karya mereka.
“Setiap masa punya tokoh, setiap tokoh punya
masanya”, kalimat ini pun menjadi dasar mengapa Pram dikenal masa itu hingga
kini. Pun demikian, sebelum masa Pram, tersebutlah Soe Hok Gie, penulis kawakan
yang menulis kritis dan pedas terhadap rezim Orde Lama, Soekarno. Tulisan-tulisannya
hingga kini telah dibukukan. Sebut saja Catatan
Sang Demonstran yang femomenal itu.
Gie tidak menyukai sikap pemimpin yang
cenderung menikmati kesenangan pribadi dan menyepelekan kepentingan kaum lemah.
Oleh Gie, dalam tulisannya dia menyebut bahwa, Soekarno dengan senangnya
menikmati setiap kemewahan istana bersama istri-istrinya yang cantik-cantik.
Sementara itu, beberapa kilometer dari istana, orang-orang kelaparan. Hal
inilah yang membuat Gie berang dan membuat aksi menentang Soekarno. Mereka
melawan tidak hanya untuk unsur kenaikan harga bensin, namun melawan rezim yang
seolah mempunya kuasa atas ‘nyawa’ seluruh rakyat Indonesia. Gie menulis dengan
apik setiap karya-karyanya.
Benar, tak salah rasanya, cerita
yang berlatar kemanusiaan selalu asik dikaji. Barangkali jika boleh dikata,
keseriusan yang dilakukan Gie juga sebenarnya dilakukan oleh penulis novel
berlatar konflik Aceh. Sebutlah novel ‘Bidadari Hitam’ karya T.I. Thamrin,
putra Aceh yang membuka mata siapa saja tentang kejamnya penyiksaan di Rumoh
Geudong. Ketika saya membacanya, rasa ngeri begitu kentara dalam isi novelnya.
Dia menulis dengan gaya jurnalistik, novel ini membuat siapapun bergidik.
Hingga kini, kasus kekerasan ini tidak pernah dituntaskan!
Jika saya hanya merangkum nama penulis di
atas, abai rasanya terhadap penulis lainnya. Masih banyak penulis kawakan yang
menulis tentang kejahatan terhadap kemanusian. Namun, kesan itu semua apakah
hanya berhenti dalam setiap kata saja? Lantas tak ada bukti nyata, asal-asalan
penulis itu? Kiranya kita selaku orang Indonesia memang harus memperbanyak
membaca daripada mengomentari sesuatu. Orang-orang ini bergerak melawan rezim
dengan kata-kata. Sungguh bahaya jika pemerintah mengganggap ini petaka bagi negara,
lalu membredelnya. Kita, kata, dan kuasa-Nya, saya yakin dengan baik bahwa
kata-kata masih punya tempat di hati rakyat Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar