Sejak dalam kandungan, saya telah
dibawa ibu ke sawah. Baginya, masa awal mengandung bukan penghalang baginya
untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Saat masih balita, ibu memang tidak
bisa selalu membawa saya ke sawah. Adalah kakak tertua yang menjaga saya, baru
dibawa jika saya sudah benar membutuhkan ASI. Lagi pun bila kakak ke sekolah,
ibu senantiasa membawa saya ke sawah pula. Begitu cerita ibu dalam kisahnya
saat saya sudah dewasa.
Saya masih ingat betul, hari itu
ayah pergi mengajar. Saya diboncengi ibu menghampiri penjual mie langganan kampung
kami. Ibu membeli satu bungkus mie dengan porsi besar. Di sawah, saya menyantap
lahap mie itu sambil menemani ibu mengusir burung pipit yang menggerogoti padi
kami. Di sudut sawah, saya duduk menepi pada
rangkang (pondok kecil tempat
berteduh petani). Rangkang itu dibuat dengan rapi oleh ayah. Saya melihat ibu
menarik-narik tali menghalau burung pipit. Ada suara batu yang sudah dimasukkan
ke dalam kaleng susu bekas. Grok… grok… grok… itulah berkali-kali suara yang
dimainkan ibu.
Saat musim padi akan ditanami,
saya juga masih ingat betul. Kami sekeluarga beramai-ramai ke sawah. Abang saya
– anak keenam – takut pada satu benda berwarna hijau yang mengapung di air
keruh persawahan. Bentuknya mirip agar-agar. Abang saya takut melihat benda
itu, saya malah tertawa cekikian. Padahal benda ini biasa aja, kali aja abang
saya geli dibuatnya. Di hari itu, sebelum turun ke sawah, ayah sebenarnya
melarang kami ke sawah karena masih kanak-kanak. Namun, ibu punya pikiran lain
bahwa anak-anak harus tahu gimana susahnya bekerja, mendapatkan rezeki yang
halal.
Lain cerita lagi saat musim
menamam palawija, ibu memilih menanam jagung. Sawah kami yang lainnya lebih
rendah dari sawah tetangga, karena ada pupuk yang mengendam saat masa tanam
padi yang turun dari sawah tetangga itu, jadilah jagung hasil panenan kami
lebih besar dan berisi.
Di dekat sawah itu juga, semasa
usai SMA saya pernah duduk menepi di sana. Masa di mana saya harus pusing
memilih untuk studi lanjutan. Saya sempat menangis memang kala itu, cengeng
betul saya. Tapi, tentu sawah dengan padinya memberi saya ketenangan dan
menuntun saya untuk memilih keputusan, padi dan pemandangan luasanya itu
memberi kemewahan mata bagi siapa saja yang memandangnya.
Seberang tahun sebelum hari itu,
saat SMP saya bingung ketika disuruh guru bahasa dan sastra Indonesia menulis
puisi. Dalam batin, saya harus menulis puisi hasil karya sendiri. Lantas,
rupanya sawah dengan padi yang sedang menguningnya memberikan inspirasi menulis
puisi. Saying, saya tidak tahu lagi di mana kini puisi itu saya simpan. Barangkali
pun tidak ada, namun saya memiliki kenangan yang masih melekat.
Saat kuliah pun, jika ada waktu
libur kuliah dan sedang musim turun ke sawah, baik musim menanam padi atau
memanennya, saya sempatkan pulang ke kampung. Bersama ibu dan saudara saya
lainnya, kami sama-sama bekerja. Mulai dari membuat tempat menabur benih padi,
membereskan tempat tanamanya – termasuk memungut keong selaku hama –, membuat
baris batas padi yang akan ditanami oleh buruh tani yang kami beri upah. Jika mereka
terkejut melihat saya, mereka akan berkata “Oh, na awak Banda Aceh lagoe (Oh,
rupanya ada orang Banda Aceh)”, mereka menyebut saya begitu karena beberapa
tahun belakangan menetap di Banda Aceh. Jadilah kalimat semacam itu melekat
bagi saya. Namun, saya juga membalas sambil bercanda bahwa hati saya selalu ada
di sini, tempat di mana saya belajar menanam padi hingga mampu menanak nasi. Selain
bisa membereskan tanah yang akan ditanami padi, saya juga bisa mencabut benih
padi, menanamnya, hingga memotong padi saat kami panen.
Memang, berat benar menjadi
petani, rasanya tidak ada orang yang sanggup jika belum pernah merasakannya
sejak kecil. Belum lagi saat padi kami diganggu hama tikus, dari mulai jadi
benih hingga padi sudah mulai tumbuh bijinya. Setiap orang pada kondisi begini
mestinya sabar, jika tidak, maka siap-siap orang akan mengumpat serapah apapun.
Ibu mengajari kami untuk tidak seperti itu. Padi seperti keluarga sendiri, dia
yang telah ‘memberi penghidupan’ bagi keluarga kami – melalui kuasa-Nya.
Kemana pun saya pergi, saya akan
sangat senang melihat pemandangan sawah. Burung-burung yang terbang, jika
sedang naik motor, saya sempatkan memotretnya. Jika dalam mobil, saya membuka
kaca jendelanya untuk menghirup udara segar, beserta bau harum aroma pagi yang memberi
ketenangan dan jiwa. Padi dan keseluruhannya, bagi saya adalah tempat yang
memberikan ketenangan, kita tidak perlu bayar mahal-mahal untuk mengikuti
seminar motivasi, dengan melihat pemadangan hijaunya, saya merasakan
kebahagian. Ada semangat lebih yang ditawarkannya, Anda yakin tidak mau
melihatnya? Simpan semua kesenangan di kota, ke desa-desa Anda turun dan
bertutur dengan masyarakat. Pastinya kita akan dijamu dengan begitu
mempesonanya. Padi dan apa yang saya lihat adalah wujud nyata pemberian Tuhan
bagi hambanya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar