Lokasinya tidak jauh dari pusat
kota, hanya beberapa menit mengendarai sepeda motor dari Simpang Tujuh Ule
Kareng, Banda Aceh, kita akan sampai di warkop ini. Biar tidak salah pilih
jalan pada Simpang Tujuh tersebut, saya memastikan memilih jalan menuju bandara
internasional Sultan Iskandar Muda (SIM). Memang bagi yang baru tiba di Banda
Aceh, simpang terbanyak di Aceh ini lumayan memusingkan kepala.
Mengendarai sepeda motor
pemberian mamak ini, mantaplah saya ‘melaju cantik’ ke arah Warkop Cot Iri.
Untuk sampai kesana, kita harus menyeberangi jembatan desa Cot Iri. Jembatan
ini sudah lama dibangun, berbarengan dengan jembatan Lamnyong, bisa dikata
semasa Orde Baru. Saat melewatinya, keindahan gunung Seulawah membiru yang
dibalut awan putih siap menyambut mata siapapun yang memandangnya. Kiri hingga
kanan jembatan, keindahan alam yang hijau juga menggoda mata untuk betah
lama-lama menikmatinya, juga menghirup udara pagi. Jembatan ini super sibuk
pada paginya. Ada yang mengantar anak ke sekolah, berangkat kerja, hingga
mahasiswa banyak menggunakan jalan pintas ini untuk cepat sampai ke kampusnya.
Warkop Cot Iri – begitulah
sebutan orang-orang – berada di ujung jembatan sebelah kiri simpang 4. Jika
lurus, kita bisa menuju Lam Ateuk dan berlanjut ke bandara SIM, jika belok ke
sebelah kanan, kita bisa menuju ke desa Meunasah Tutong dan terus ke Simpang
Lambaro, Aceh Besar. Sementara jika melaju ke sebelah kanan, jalan itu akan
tembus ke Darussalam. Kali ini, saya harus berhenti sejenak sebelum melaju kea
rah Darussalam.
Rasa lapar yang tiba, memantapkan
perut dan lidah saya untuk segera melunasi hutang lapar yang belum
terselesaikan usai makan tadi malam. Tidak seperti warkop di perkotaan, di sini
Anda akan menemukan beragam profesi orang yang ngobrol. Mulai dari petani,
peternak sapi, penjual ikan, pedagang hingga seorang suami yang menikmati usia
senjanya bersama kekasihnya. Saya melihat mereka berdua begitu romantis menyeruput
kopi sanger dan nasi guri.
Saya sudah berada duluan dari
sepasang kekasih itu. Pagi tadi saya agak bingung memilih tempat duduk. Meja di
warkop itu penuh dengan beragam profesi yang saya beberkan tadi. Saya duduk di
luar, sepintas kemudian melihat tempat duduk yang sangat ‘beautiful view’. Tempat duduk ini menjadi incaran saya sejak awal.
Selama ini, tempat duduk ini menjadi favorit karena di sebelahnya kita bisa
menyaksikan orang lalau lalang di jembatan Cot Iri.
Lantas, tak sabaran rasanya
mengisi perut dengan nasi guri – nasi khas orang Aceh untuk sarapan. Nasi guri
ini porsinya tidak banyak, hampir sama dengan ‘Bu Prang’ – nasi khas Aceh
lainnya. Nasi guri adalah santapan menggoda, nasi ini dimasak dengan bumbu
khusus. Ada banyak lauk yang bisa dipilih, mulai dari telur rebus sambal, ikan,
udang hingga teri sambal.
Sebagai teman menikmati nasi guri
dan biar makin beautiful view, saya
juga memesan kopi sanger. Namun, sepertinya pembuat kopi lupa menaruh gula
pasir, jadi sangernya hampir mirip kopi susu. Tapi, dari segi rasa, bolehlah
kita sebut kopi sanger, yang penting sama-sama ngerti.
Selain menikmati sarapan dan
sanger tadi, saya juga menikmati suasana penuh akrab bersama orang-orang yang
nongkrong sejenak. Tetapi, saya duduk sendiri dan menikmati sepi, pedih
jenderal!
Orang-orang itu membicarakan
beragam hal, ada yang bahkan sudah menjadi pelanggan tetap warkop ini. Mereka
semacam melakukan ‘cang panah’ soal pekerjaannya hingga isu terkini. Mereka
sangat antusias menikmati kopi yang disuguhkan. Orang yang di samping saya,
mereka berdua asik betul bercengkrama, awalnya mereka duduk di meja sebelahnya
lagi. Namun, mereka berceloteh, tak sanggup menghisap asap rokok dari meja
lainnya. Sama seperti saya juga, saya akan menghindari asap rokok. Tetapi,
begitulah majemuknya warung kopi, dimanapun orang akan tetap kesana juga kan.
Hampir sama sibuk ‘cang panah’
seperti pelanggan, pembuat kopi juga sama-sama sibuk menyaring kopi dengan
beragam rasa, baik sanger, kopi susu, kopi hitam dan tidak hanya kopi, Anda
juga bisa memesan teh hangat, kacang hijau, bahkan jika lebih anti mainstream,
Anda dapat memesan teh dingin sambil
menyantap nasi pagi. Penganannya pun lumayan banyak, kita dapat merayakan
kenikmatan sendiri yang sesungguhnya di warkop ini.
Di warkop yang berwarna hijau
muda itu, kita tidak akan menemukan daftar menu. Anda cukup memesan saja apa
yang ada. Ini berbeda sekali dengan warkop-warkop ternama ibukota yang memakai
nama minuman kopi dengan bahasa asing, mulai dari avocado coffe, vanilla latte,
espresso dan lainnya. Pembuat kopi pun beragam umur, anak muda yang saya taksir
baru selesai SMA, pemuda akan menikah hingga bapak-bapak yang sangat sigap
menyuci gelas-gelas kopi. Saat membayar, Anda boleh datang ke kasirnya langsung
atau memanggil pelayannya.
Memang, apalah daya saya
menyendiri disini, saya bisa menikmati semuanya, tapi tanpa orang yang
menemani, rasanya pagi hari serasa sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar