pixabay.com |
Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan seorang ibu yang
hidup menderita suatu penyakit. Ibu berencana meracuni suaminya, yang merupakan
orang yang telah melukai batinnya selama ini. Itulah sebabnya, si suami pun
ingin membunuh istrinya dengan bolu delapan jam. Delapan jam semacam pengingat
untuknya. Setiap Lebaran, si Antoni yang merupakan pacar si Ibu masa muda dulu
akan pulang kampung dan bolu delapan jam melebarkan jurang kembali antara aku
dan Antoni.
Hal yang menarik untuk dibahas diantranya yang membuat
saya bingung di kalimat ini pada paragraf ketiga:
“Apa kau tahu kenapa aku menggunakan dua puluh butir telur bebek
untuk adonan ini?”
Aku menggeleng. Dalam resep bolu delapan jam yang ibu tuliskan
untukku seharusnya ibu menggunakan dua puluh dua butir telur bebek dan dua
butir telur ayam. Namun, ibu menggunakan hanya dua puluh butir.
Awal kalimat ini sebenarnya sudah menjelaskan bahwa Ibu
menggunakan 20 butir telur bebek, namun pada akhir kalimat di paragraf
berikutnya, si anak menjelaskan kembali bahwa ibunya menggunakan 20 butir telur
bebek. Ada pengulangan kalimat yang sama pada paragraf berikutnya, padahal
secara tidak langsung pembaca juga sudah tahu bahwa ibu menggunakan 20 butir
telur bebek.
Masih ada sambungan paragraf diatas. Coba kita simak kalimat
dialog di paragraf yang lain:
Hal yang membuatku menelan ludah, dua butir telur ayam berikutnya
ibu masukkan langsung ke dalam adonan.
Di atas sebenarnya sudah
dijelaskan ibu menggunakan 20 butir telur bebek. Namun, disini kenapa ada
tambahan 2 butir telur ayam lagi ya? Kalau dijumlahkan jadinya 22 butir telur.
Apakah maksud kalimat di atas“Namun, ibu menggunkan hanya dua puluh butir”. Pada
kalimat itu juga tidak disebutkan, apakah 20 ini sudah ada telur bebek 18
ditambah 2 telur ayam?
Jika kita telusuri pada kalimat tentang gula pasir:
“Gula pasir.” Ibu menunjuk 420 gram gula pasir yang ada di atas
meja.
Bagaimana si anak tau
bahwa gula pasir itu, takarannya 420 gram? Jika pada kalimat sebelumnya ada
disebutkan contoh kalimatnya begini (Ibu telah mempersiapkan 420 gram gula pasir, katanya ukuran
tersebut harus pas, tidak boleh kurang atau lebih). Jadi, kalau
kalimatnya seperti itu, maka akan tersambung ke kalimat berikutnya.
Cerpen Guntur Alam kali
ini membuat saya menyukainya karena segmen yang diambil adalah latar sosial
daerahnya. Terus, bahasanya juga mudah dipahami oleh pembaca, diksi yang
dipilih adalah bahasa familiar. Di KOMPAS, segmen cerpen dengan latar daerah
selalu menarik, makanya Guntur Alam kayaknya memang lebih sering menulis cerpen
atau novel dengan latar daerahnya. Yang membuat kita terkejut bahwa,
sepahit-pahitnya asmara, adalah orang itu juga yang menjalaninya, terlepas dari
rongrongan orang lain dalam sebuah hubungan. Si lelaki berhasil memperjuangkan
cintanya, walau dengan nuansa anti mainstream, kalau di Aceh sudah ditangkap
WH. Bagi lelaki yang sedang memperjuangkan cintanya, tabahlah dalam kejombloan.
Biarkan kayak kata grup musik Payung Teduh, “Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan”. Atau
seperti kata di salah satu adegan film Fast Furios 7 “Karena tak bisa minta orang lain untuk mencintaimu”.
Jomblo tanpa harapan dan cita-cita, kayak ayam penyet rasanya manis legit.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar