Penceramah itu naik ke mimbar. Tidak begitu besar, cukup sesuai untuk ditempati penceramah. Suaranya yang datar, kalau pernah mendengar tausyiah Quraisy Syihab, hampir-hampir menyerupai. Penceramah mulai berkisah. Ada seorang pemuda yang saban hari dalam kehidupannya selalu saja dirundung masalah. Tanpa ada satu masalahpun yang dapat diselesaikannya. Dia terus saja mengeluh terhadap masalah kehidupannya. Tak terkira, hal itu membuatnya semakin terpuruk, selalu jatuh dalam lubang yang sama.
Tak sanggup melulu dengan keadaannya, pemuda itu pun
menjumpai tetua bijak. Dia menceritakan semua keluh kesahnya, masalah yang
terus menghambat aktivitasnya, semua sudah dibeberkan. Pemuda itu yakin benar,
tetua bijak punya hal baik nan positif buatnya.
Tibalah tetua menyuruhnya mengambil air mineral. Disuruhnya
menaruhkan garam satu genggaman dalam air yang sudah duluan dituangkan dalam
gelas. Diaduknya perlahan, sampai garam tadi benar-benar larut dan menyatu
dengan air. Persis, garam tadi tidak nampak lagi, hanya saja air tersebut udah
sedikit keruh. Citra garam mempengaruhi
air.
Tetua meminta pemuda meminumnya sampai habis. Tak mengelak,
pemuda segera melaksanakan ajakan tetua. Dalam satu tegukan, pemuda itu
menumpahkan semua air yang diminumnya tadi. Mulut dan lambungnya sama-sama
seperti sepakat menolak memuntahkannya. Ditanyakan bagaimana perasaannya?
Pemuda itu merasa tidak suka dengan minuman itu, sungguh rasanya memuakkan.
Lalu, tetua mengajak pemuda ke dekat danau. Dimintanya lagi
pemuda itu untuk mengambil segenggam garam, dimintanya menaruhkan garam
tersebut ke danau, diambilnya kayu dan diaduk perlahan oleh pemuda. Sampai
kira, garam tadi sudah larut dalam air danau. Dimintanya pemuda untuk mengambil
air danau dengan tangannya, dan diminta untuk meneguknya. Lalu pemuda meminum
sampai habis air dalam tangannya. "Bagaimana
perasaanmu?,”tanya tetua.
Ada kelegaan dan nikmatnya saat pemuda menjelaskan bahwa
airnya jernih dan meneduhkan. Kesejukannya berbeda dengan minuman sebelumnya.
Tetua mengatai, betapapun banyaknya masalah yang dihadapi,
selama hatimu seluas danau, maka akan sabar, ikhlas dan syukur ketika dirundung
masalah. Begitu pula, ketika hati sesempit gelas, masalah kecil dan besar akan
sama-sama nampak besar, jika tidak bisa diterima dan selalu dalam kondisi
mengeluh, gelisah, galau merana.
Sebut penceramah, dalam Qur’an juga sudah dijelaskan tentang
orang yang berkeluh kesah. Beliau mengutip bunyi surat Al-Ma’arij ayat 19 yang
mengandung makna “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah”.
Sementara, setelah dijabarkan oleh penceramah, kita juga dapat melihat dalam
bunyi ayat yang lain yang menegaskan “Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah” (Al Ma’arij : 20). Dilanjutkan lagi pada ayat berikutnya “dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir” (Al Ma’arij: 21). Namun pada
ayat 22, Allah dalam sabdanya mengatakan “Kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat”. Tentu, tak ada orang yang tak memiliki masalah, ayat
diatas menegaskan bahwa manusia memang memiliki masalah, ketika manusia
mendapat musibah, akan merasa dirinya tidak dicintai oleh Tuhannya. Sementara,
ketika manusia mendapat kebaikan, rasa syukurnya kepada Tuhan sangatlah
sedikit, bahkan ada yang lupa. Kecuali, benar-benar ada ianya orang yang
mengerjakan shalat, ianya kita maknai mendirikan shalat, menghadirkan shalat dalam
aktivitasnya bagi sekitar.
Banyak peristiwa, masalah yang dihadapi, seperti mati lampu,
tidak sabaran di lampu lalu lintas, menggerutu ketika panas, meminta paksa
terik matahari ketika hujan angin badai, berdoa di dunia maya dengan sangat
keluh. Maka, pilihannya ada pada kita, memilih hati yang luas atau sesempit
gelas minum. Dan penceramah turun, tarawih dilanjutkan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar