USAI SUBUH, Aku
melewati mesjid Al Makmur. Para jamaah usai salat Subuh berduyun-duyun ke
warung kopi sebelah setelah zikir-zikir dilantunkan. Warung kopi seberang,
bentuknya nan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi walpaper hasil impor dari
daratan Eropa. Orang-orang sekitar mengenal warung kopi ini milik Markes.
Setelah dia pulang dari merayakan haji tahun lalu, dia tambah giat menambah
pendapatan. Niatannya ingin berhaji sampai beberapa kali.
Aku tidak ke warung Markes.
Persinggahan kakiku melangkahi warung itu dan menyusup ke warung Salim. Salim
yang mempunyai nama panjang Salimo. Aku lebih suka memanggilnya Salim. Kalau
dalam literasi arab, Salim itu berarti sejahtera.
Warung milik Salim bentuknya
sederhana. Dengan dinding bambu yang warnanya sudah usang. Meja di warungnya
berwarna putih kehitaman dan kursinya juga kehitaman, lantaran ada bekas-bekas
keringat para buruh yang pulang dari berladang. Para buruh itu aktif berkumpul
di warung Salim, biasanya pada waktu siang. Mereka memesan kopi, lalu sibuk mengobrol
persoalan upah yang kian hari kian melilit leher. Salim bahkan tidak melarang
mereka yang kumal dan bau untuk minum kopi di warungnya. Dia dengan santai
menyeduhkan kopi untuk para buruh itu. Ini saban hari sudah menjadi rutinitas
Salim, tentu selain menjadi pendidik.
Aku sampai di warung Salim
yang disambut gerimis ringan. Bau sampah di samping warungnya menyengat. Pihak
pembersih kota baru mengangkut sampah di warung Salim pada siang hari.
Sementara di warung Markes, paginya sampah bahkan tidak lagi membekas. Aku tak
mempersoalkan bau itu, bagiku sudah biasa. Salim sudah berungkali memprotes
kepada pihak pembersih kota soal sampah di depan warungnya itu. Mereka
berkilah, tidak perlu banyak memprotes karena hidup di kota Madoni. Asal selalu
membayar upeti, Salim akan aman. Itu kilah pihak pembersih kota. Amarahnya dia
pendam, dia sadar kalau dirinya adalah seorang pendidik yang perlu diteladani
oleh anak didiknya.
Aku menyukai warung Salim
karena bentuknya mengingatkan pada warung kopi di tempat asalku. Dari
ornamen-ornamen dan tata letak warung kopi Salim semakin syahdunya menambah
kerinduanku pada kampung halaman. Daerah yang kini telah damai pasca konflik
antar dua negara.
Namun, itu hanya salah satu
bagian yang menjadi penyukaku akan warung ini. Kedatangannku kali ini adalah
menutaskan janjiku dengan Kamvrita untuk menemuinya sekaligus menumpahkan rasa
rinduku. Kamvrita, gadis yang kukenal sebagai juniorku di kampus.
***
Pertemuan kami unik. Waktu itu
sedang perayaan Imlek. Aku selaku wartawan ditugasi oleh atasan untuk meliput
berita perayaan Imlek di vihara Mekoong. Kesanalah Aku pagi-pagi buta lantaran
jarak yang lumayan jauh dari kosanku. Kamera setiaku tak ketinggalan kubawa.
Aku ingin mendapatkan gambar-gambar yang bagus hari ini, cuacanya pun mendukung.
Vihara Mekoong terletak di
kota Kuta Raya. Bagunannya berwarna merah dari atap sampai ke dinding dan juga
tembok-tembok penyannga atap. Merah menjadi warna khas orang Tionghoa. Bagi
mereka merah membawa peruntungan. Begitu juga bagi Kamvrita.
Aku mengambil foto perayaan
Imlek dari sudut-sudut objek yang kukira dapat memotret dengan mudah dan hasil
gambar yang baik. Aku memotret
orang-orang yang sedang sembahyang, dupa yang sedang dibakar dan ada asapnya
yang keluar. Aku juga memotret keseluruhan bentuk vihara Mekoong. Sedang asyiknya
memotret, lensa kameraku menangkap objek sosok seorang wanita. Aku terpana
wajah cerianya. Dia memakai baju merah dan roknya sampai di bawah lutut. Rambutya
disisir dengan rapi serta bentuk mata yang sipit juga ada bulu mata lentiknya.
Ohya bentuk wajahnya oval putih dan pipinya menyiratkan warna merah muda.
Lipstiknya tidak terlalu tebal, sederhana.
Aku sempat tak ingin mengambil
gambar dengan kamera. Tapi, kamera ini sebagai bukti peliputan harus kurengguh
lagi. Sudut-sudut gambar yang kuambil kini malah lebih banyak memotret wajahnya.
Telah lama, akhirnya gadis itupun sadar dirinya sedang dipotret. Diapun
memandang ke arahku dengan wajah senyum ceria, lalu berpose dengan dua jari.
Seperti memberi suatu isyarat. Aku pun tambah riang menuntaskan objek
kesukaanku saat ini.
Usai sembahyang, gadis itu
menghampiriku. Uluran tangannya memperkenalkan diri.
“Saya Kamvrita, kamu?”, dengan
senyum sedikit menggoda.
“Saya Fretto”, lalu gugup pun
menyerang dan salah tingkah menghampiri.
Kami berbincang sejenak.
Perkenalaan ini juga menyinggung persoalan pribadi. Mulai masa lalu, kesukaan,
orang tua, karir dan kami tidak membahas soal asmara. Perbicangan kami
seolah-olah sudah berkenalan sejak lama dan akhirnya bertemu lagi pada hari
itu. Kamvrita ingin mengajakku ke rumahnya. Namun, halus ku tolak dengan dalih
ada laporan liputan yang harus kusiapkan secepatnya. Kamvrita pun tak dapat
memaksaku. Dalam pertemuan singkat itu, sempat kuberitahu apa yang telah
mendesak dan sangat perlu kukatakan secepatnya. Aku melampiaskannya, Kamvrita hanya tersenyum dan tidak memberi
jawaban. Sejenak kemudian, dia memberikanku angpao yang sudah menjadi tradisi
perayaan Imlek. Hanya sampai disitu, kami berpisah. Aku tak begitu gegabah
ingin membuka angpao tadi. Ya, isinya sejumlah lembaran uang.
Aku salah. Ketika membukanya
di kantor, malah aku dapati hal yang lain. Secarik kertas aku rogoh di dalamnya.
Kamvrita menulis pesan “Warung kopi Salim, meja no.9, Kamis, 6 Februari 2013,
pukul 8 pagi. Ada kabar baik yang akan kukabarkan padamu”. Kertasnya dibaui
wangi parfum menyerupai wangi parfum ‘malaikat subuh’. Dia mengajakku bertemu
kali berikutnya. Aku penasaran, kabar bahagia apa yang ingin disampaikan
Kamvrita yang punya wajah rupawan dan dengan lesung pipi itu. Dan semenjak
kapan Kamvrita mengetahui warung Salim, apa spesialnya warung kumuh itu
baginya? Barangkali hanya sebagai tempat ketemuan saja, lantas memesan minum di
tempat lain. Aku mencoba meyakinkan diri.
***
Teh hangat yang kupesan tadi
sudah habis ku minum tanpa sisa. Aku kemudian memesan kopi. Racikan kopi Salim
lebih nikmat dari kopi di warung Markes. Aku memintanya menambahkan sedikit
susu kental, agar nikmatnya tidak ketulungan. Pada serupan kopi berikutnya,
kedua mataku menangkap sesosok wanita. Dia berdiri anggun dengan tentengan tas
di tangan kanannya. Dia tersenyum. Aku pun heran, sosok Kamvrita yang cantik
dan wangi mau singgah di warung kopi Salim yang sederhana dan terkesan kumuh
ini.
Aku menyuruhnya memesankan
minuman. Kamvrita mengelak. Tangannya malah memegang cangkir gelas kopi pesananku
tadi. Dia menyeruput pelan kopiku. Lalu dia menaruhnya lagi. Dalam suasana
gugup, aku juga menyeruput lagi kopi tadi tepat dibekasan bibir Kamvrita. Dia
tertawa melihat tingkahku. Baginya aku konyol. Lama kami dalam perbincangan
melepas kerinduan pasca bertemu di vihara Mekoong bulan lalu. Gigi putihnya
saat dia tertawa begitu tertata rapi. Aku bahkan tak berani memegang tangannya.
Tepat pukul 10 pagi, Kamvrita
memesan minuman. Dari arah belakang Salim menghampiri. Aku duduk membelakangi
Salim, sementara Kamvrita sebaliknya. Raut wajah Kamvrita berubah lebih cantik
dari yang tadi. Dia menyambut Salim dengan hangat. Aku terkejut, lantaran
mereka sudah akrab apalagi disambut dengan pelukan. Degup jantungku berdetak
kencang, aku dapat merasakannya. Aliran darahku mulai terasa hangat di seluruh
tubuh, ada keringat di dahi kepalaku. Aku hampir tak bisa mengontrol diri
dengan kejadian barusan.
“Fretto, ini Salim, salah satu
guru tempatku mengajar, sekaligus tunanganku”, raut wajahnya begitu bahagia dan
merona memerah muda.
Aku bersitegang dengan diriku
sendiri. Aku tak pernah mengira begini jalannya. Jika salahku merindui kekasih seorang
guru. Maka maafkan, bersebab itu muncul tiba-tiba lalu melekat dari hari ke
hari semenjak bertemu Kamvrita. Perasaan malu membuatku meninggalkan mereka
berdua. Aku menumpangi bus ke arah kantorku. Aku pun menghilang semenjak itu.
Yang pasti, tugasku telah usai. Apa yang menghambat di hati telah kutunaikan.
Aku bahkan telah meninggalkan jejakmu, lagi. Itu telah lalu, sembari tetap
menunggu dan sabar.[]
1 komentar:
Hoho Dek Kamvrita.....
Posting Komentar