SEJAK meninggalnya almarhum bapak Mawardi Nurdin yang merupakan
walikota Banda Aceh untuk periode 2012-2017 yang berpasangan dengan Illiza
Sa’adudin Jamal sebagai wakil walikota, secara hukum negara maka Illiza berhak
menggantikan Mawardi untuk menjabat sebagai walikota. Illiza wajib melanjutkan
program-program pembangunan kota sesuai dengan janji-janjinya pada pemilihan
walilkota tahun 2012 lalu. Ditetapkannya Illiza sebagai walikota tidak secara
serta merta langsung menjadi walikota, tetapi ada masa ‘magang’ sebagai
Pelaksana Harian (Plh) walikota. Dalam hal ini dikarenakan belum keluarnya
surat keputusan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi perihal pengangkatannya
secara resmi dan dilantik sebagai walikota Banda Aceh meneruskan periode
2012-2017.
Tanggal 16 Juni 2014 lalu, Illiza atau yang
lebih santer dikenal dengan sebutan ‘Bunda’ telah dilantik oleh Gubernur Aceh
dr. H. Zaini Abdullah di gedung DPRK
Banda Aceh. Ini menjadi peristiwa paling bersejarah dalam kehidupan Bunda kita,
bagi keluarganya dan juga bagi rakyat kota Banda Aceh. Betapa tidak, semenjak
Aceh bergolak pada tahun 70-an sampai saat ini, belum pernah dipimpin oleh
seorang walikota/bupati dari kalangan perempuan. Maka, ditanggal itu kita
sama-sama telah menyaksikan bahwa Kuta Raja kali ini dipimpin oleh seorang
‘Ratu’.
Berbagai spekulasi di dunia maya semacam facebook dan karibnya twitter berpendapat bahwa ini menjadi
peluang bagi kaum ibu-ibu untuk menampakkan gaungnya kembali di tanah rencong
ini. Mereka perlu didorong untuk terlibat dalam pemerintahan. Namun, ada juga
yang berpendapat bahwa Banda Aceh kurang layak dipimpin oleh seorang wanita,
melihat Banda Aceh adalah ibukota dari Provinsi Aceh . barangkali ini tidak
menjadi soal bagi kebanyakan rakyat Aceh, toh Bunda hanya memimpin Banda Aceh,
kan tidak memimpin Aceh? Kilah beberapa pendapat lain yang saya temukan di
jejaring dunia maya.
Ada hal yang membuat Illiza terkenal
akhir-akhir ini. Beliau dengan beberapa ormas Islam sedang giat-giatnya menyapu
bersih kaum maksiat di kota berjuluk Madani ini. Terlebih dengan gayanya itu,
sampai waktu larut malam pula tetap melakukan sapu bersih maksiat tersebut.
Menarik memang melihat geliat beliau dalam upaya memantapkan salah satu misinya
yaitu meningkatkan kualitas pengamalan
agama menuju pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Pemerintah kota Banda
Aceh berharap dengan misi ini akan tercapai masyarakat yang madani.
Illiza mulai dikenal oleh khalayak di Aceh semenjak beliau bersama
almarhum bapak Mawardi Nurdin untuk pertama kalinya memimpin Banda Aceh pada
periode sebelumnya, yaitu periode 2007-2012. Berbagai pembenahan tata ruang dan
tatanan pemerintahan di Banda Aceh terus dibenah sedemikian rupa. Pasca
dihantam oleh gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, secara kasat
mata kota ini telah lumpuh bahkan bisa dikatakan telah mati. Akibat bencana
hebat ini, kota Banda Aceh mengalami kerusakan cukup parah. Terutama
infrastrukturnya. Banyak gedung-gedung penting tidak layak digunakan lagi.
Kemudian, pada saat kepemimpinan Mawardi Nurdin semuanya terus dibenah dan
merubah segala apa yang telah terjadi akibat bencana dahsyat tersebut. Dengan
wajah kota yang saat ini sudah lebih berwarna bak kota metropolitan, Banda Aceh
telah lahir dengan rupawan baru, bergaya modern, entah bermartabat pula
orang-orangnya.
Dengan gaya khasnya, Illiza selalu tampil dengan santun di setiap
pidato-pidato kewalikotaannya. Kita mengapresiasi beliau sering mengambil
ayat-ayat Allah dan ucapan Rasul dalam setiap isi pidatonya. Sebagai wujud
kecintaan pada kota Madani ini sudah sewajarnya Illiza menghadirkan nuansa
‘Khutbah’ bagi dirinya, bawahannya agar tahu diri akan sebuah kepentingan bagi
rakyat pimpinannya. Jujur, saya menyukai ciri khasnya beliau ini.
Bagi saya yang sedang mencoba menjadi orang yang menjaga kesehatan,
minimal untuk diri sendiri tertarik dengan tatanan masyarakat yang Madani jiwa
dan raga pula. Sehat menjadi hal utama dalam menjalankan aktivitas sehari-hari,
apakah bekerja atau pula beribadah. Muslim yang baik adalah yang baik pula
menjaga kesehatan dirinya dan kesehatan lingkungannya.
Baru-baru ini di balai kota Banda Aceh ada diselenggarakan diskusi bahaya
merokok. Dalam diskusi itu memberikan informasi bahwa kaum-kaum perokok sudah
layak meninggalkan kebiasaan buruknya itu. Menjadi perokok aktif malah sangat
merugikan perokok pasif. Anak-anak, ibu-ibu hamil adalah target yang sangat
berbahaya dari asap rokok tersebut. Illiza juga ikut terlibat dalam diskusi
bahaya rokok tersebut. Saya mengapresiasi upaya dari teman-teman yang sadar
akan pentingnya menciptakan masyarakat Madani tanpa rokok.
Namun, apakah sejalan ucapan Illiza pada diskusi tersebut dengan begitu
banyak iklan baliho-baliho rokok di sepanjang jalan kota Madani ini? Baik dalam
bentuk baliho kecil maupun besar, sama-sama dikemas seolah-olah rokok itu tidak
salah untuk dihisap. Ini menjadi pertanyaan bagi saya yang pasif merokok,
apakah ini wujud baru membentuk karakter Madani cinta rokok sejak dini? Atau
apa yang sering diucapkan Illiza pada setiap isi pidatonya mencerminkan
perbuatannya? Atau saya saja yang terlampau melebih-lebihkan prinsip yang
dipegang oleh beliau. Bisa jadi ini kesilapan sesaat dari beliau, maka
kita-kita yang berada di pinggiran kota hanya mampu mengingatkan di dunia maya.
Iklan rokok di pasang pada baliho-baliho ibukota provinsi Aceh ini membuat
sampah baru bagi kota ini. Mungkin bagi pemerintah kota Banda Aceh tidaklah
rugi, dengan pajak yang didapatkan dari iklan tersebut menambah pendapatan bagi
kemajuan lebarnya kantong segelintir elit di Banda Aceh ini. Saya mulai ragu
dengan stigma Banda Aceh kota Madani. Apa ini memang benar proyek besar yang
diinginkan walikota Banda Aceh? Atau barangkali ini modal awal untuk mencetak
generasi cinta merokok sejak dini. Belum lagi masih berkeliarnya dengan mudah
para Sales Promotion Girl (SPG) rokok di setia sudut warung-warung kopi
bahkan sampai ke objek wisata Ule Lhee dan objek wisata lainnya. Jika ini benar
cara yang digunakan oleh walikota dalam upaya menciptakan khasnya Madani adalah
dengan menjadi pengrajin penghisap rokok, maka saya tidak jadi mengangkat
jempol. Apa yang akan kita bayangkan bila SPG-SPG itu menawarkan rokoknya
kepada para pelajar kita yang rentan dengan bahaya zat yang terkandung dalam
rokok tersebut. Apalagi yang menjual rokoknya berpenampilan menarik, tentu
memikat beberapa kaum lelaki untuk membeli rokok.
Masalah ini belum juga terselesaikan, muncul lagi semisal masalah
kebutuhan akan air bersih bagi warga kota. Seperti yang diberitakan oleh Harian
Serambi Indonesia pada Sabtu, 10 Mei 2014 lalu.
“Warga Gampong Ateuk Jawo,
Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh sudah sekitar dua bulan tak dapat menikmati
air PDAM Tirta Daroy, Banda Aceh.
Pasalnya suplai air itu tak mengalir ke pipa di gampong mereka. Akibatnya warga
terpaksa menggunakan air sumur yang kuning dan sebagian membeli air PDAM itu yang dibawa menggunakan
mobil tangki”.
Ada 600 kepala
keluarga lebih menggunakan air dari PDAM di gampong tersebut. Para warga
mengeluh lantaran biasanya air dari PDAM baru hidup pada jam 3 dini hari.
Sungguh ironis, lantaran para warga sudah membayar pemakain air PDAM tersebut
setiap bulannya. Namun, warga terpaksa harus membeli lagi air PDAM yang dibawa
dengan mobil-mobil tangki seharga 130 ribu untuk 300 liter. Apakah kekurangan
air PDAM ini juga wujud penerapan Banda Aceh segera berubah simsalabim
abrakadraba menjadi kota Madani?
Kebijakan dan
Ketegasan
Selaku mahasiswa
perantauan, saya mempunyai masukan untuk rezim Bunda Illiza kali ini. Tidak
menjadi penghalang rasanya ketika beliau belum memilih pendamping yang akan
menggantikan posisinya dulu yaitu wakil walikota. Apa yang saya gambarkan
diatas adalah diantara sekelumit bobroknya pelayanan publik. Persoalan masih
banyaknya iklan-iklan rokok, rasanya Illiza perlu belajar banyak dari walikota
Bandung, Ridwan Kamil. Selaku walikota yang baru terpilih, Ridwan Kamil membuat
terobosan bagus perihal ketegasannya melarang adanya iklan-iklan rokok di kota
Bandung. Beliau tidak takut berkurangnya pendapatan daerah lantaran tidak
adanya iklan rokok, baginya adalah menciptakan warga yang sehat harus
dituntaskan secepatnya.
Menjadi
pertanyaan sekarang, apa yang ditakutkan oleh walikota kita sehingga belum
tegas menutup iklan-iklan rokok di sepanjang jalan ibukota. Jika benar ingin
menciptakan masyarakat yang sehat, sudah layak Illiza dengan tegas menolak
iklan rokok tersebut. Jika syariat Islam masih dipahami hanya pada urusan razia
tempat maksiat saja, lantas iklan rokok yang tersebar dimana-dimana tidak perlu
dipandang dari sudut syariat Islam? Apalagi kekurangan air bersih bagi sebagian
warga juga tak termasuk dalam bidang pemerataan syariat Islam secra Kaffah?
Baiknya walikota kita secepatnya melakukan restorasi kepemimpinannya, jika
tidak dianggap hanya retorika semata.
Setelah dilantik sebagai walikota, Illiza menjadi penentu
kebijakan-kebijakan penting perihal kebutuhan rakyat Banda Aceh, disamping
diperbantukan oleh wali rakyat legislatif. Apalagi baru-baru saja kita semua
pada 9 April lalu memilih wakil rakyat, khususnya Banda Aceh. Otomatis,
orang-orang yang menduduki lembaga eksekutif dan legislatif adalah orang-orang
yang masih baru. Tidak ada alasan menunda-nunda kebutuhan rakyatnya. Kita perlu
pemimpin yang tidak hanya sibuk menyuruh memilih pemimpin yang kabarnya tegas
itu, lantas beliau sendiri tidak tegas. Ayo tegas Bunda! []
Opini ini sudah dimuat oleh www.ajnn.net
Menanti kebijakan baru di ‘Kota Ratu’
Opini ini sudah dimuat oleh www.ajnn.net
Menanti kebijakan baru di ‘Kota Ratu’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar