DI PERSIMPANGAN itu, agak menikung ke kanan, di dekat toko buah,
gadis itu berdiri menenteng baki kue. Bau menyengat dari lubang got menusuk
hidung. Di dinding toko antik di sebelah toko buah ada mural bertuliskan:
“Bunda, mana baktimu?”. Aku memperhatikan gambar itu sekilas. Cuma sekilas,
karena ada sosok lain yang minta aku perhatikan. Setiap aku menaiki bus menuju
kampus, aku memperhatikan seorang gadis. Gadis berkerudung kuning berbaju
merah. Tiada yang berubah dari gadis itu. Dia selalu tersenyum kepada setiap
pembeli. Aku heran, kenapa aku tidak pernah melihat raut kekesalan di wajahnya.
Sore itu aku memutuskan mencari tahu tentang gadis itu.
Aku mengepulkan asap rokok yang telah aku bubuhi sedikit daun
hijau. Rasanya nikmat betul.
Seorang ibu di sebelahku duduk dengan kaki terangkat. Sanggul
besar menghiasi rambutnya. Wajahnya gemuk dan tubuhnya gempal. Dia mengenakan
rok hitam di bawah lutut, dipadukan dengan baju berwarna merah. Di depan ibu
itu, duduk seorang pejabat dan kawannya. Aku kenal wajah mereka berdua melalui
berita-berita di Facebook. Si pejabat mengenakan kacamata. Rambutnya telah
memutih. Temannya memiliki brewokan cukup lebat, mirip aktor Chuck Noris.
Saat berbicara suara mereka lumayan keras. Jadi aku mendengar isi pembicaraan
mereka. Aku terkejut, karena pokok pembicaraan mereka adalah gadis yang sedang
aku cari tahu.
Jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Agaknya si
pejabat teras dan kawannya terganggu dengan kekagetanku. Lalu aku pura-pura
membuang muka. Sial. Tiba-tiba dua orang berseragam loreng merah-hitam datang
menghampiriku.
“Kau ini siapa? Kau orang mana? Kau tahu kami siapa?” bentak
salah satunya. Tangannya memegang kerah kemejaku. Dia memiliki raut wajah yang
sangar dengan kumisnya yang tebal serta ada tahi lalat di hidungnya. Tubuhnya
atletis, aku perkirakan dia sering latihan membentuk badannya. Tertutupi
kacamata hitam, aku tak bisa bola matanya ketika dia membentakku. Sementara
yang satunya lagi memiliki badan yang kurus dan tidak berkata-kata. Dia
menatapku begitu dingin.
“Tahu Pak!” jawabku dengan keringat mengucur deras.
“Kalau kau ingin tetap hidup, pulanglah sekarang!”
Plakkk!
Satu tamparan jatuh di pipi kiriku. Kau pikir aku bisa
menghindar. Mereka membawa pistol. Dan aku tak ingin mati konyol.
Semua mata pelanggan kedai kopi tertuju ke arahku. Hari ini
seorang sarjana ditampar oleh orang-orang berseragam dan itu di depan orang
ramai.
Orang-orang di kedai kopi melanjutkan pembicaraan. Begitu juga
si pejabat teras dan kawannya. Sementara aku, terpaksalah menunda melihat gadis
berbaju merah dari dekat. Sekarang jarakku dengannya dipisahkan oleh sebuah
tamparan.
Tapi aku akan mencari jalan cara lain. Aku akan melihatnya dari
sudut lain. Dari kedai kopi aku menuju sebuah kios koran. Aku membeli sebuah
koran nasional yang selalu datang terlambat. Aku membolak-balikkan koran dengan
cemas. Dan benar, gadis itu dapat terlihat dari kios koran ini.
Gadis itu masih berdiri dengan anggun. Sesekali dia menutupi
wajahnya dari kepulan asap kendaraan. Dia menjaja makanan di simpang itu setiap
sore. Banyak ibu-ibu muda yang datang membeli. Dan bapak-bapak, kau tahu,
mungkin mampir karena kepincut dengan wajah rupawan gadis itu. Mereka suka
melempar pandangan nakal dan mesum ke arah gadis itu.
Aku melihat gadis itu tertawa. Gigi-giginya putih. Bagaimana aku
bisa menolak karya Tuhan yang sempurna ini. Jantungku berdetak kencang. Andai
aku bisa menghadap orangtuanya dan menjadikannya pencerah hidup.
Sungguh tidak ada alasan untuk membasmi perasaan yang mulai
tumbuh ini. Aku menyenandungkan sebuah lagu cinta. Dalam tubuhku, aku dapat
merasakan darah yang menuju jantungku mengalir lebih cepat.
Dan aku mulai takut apabila ada laki-laki lain yang mencoba
mendekati gadis itu. Aku mulai berpikir, apa yang terjadi apabila orang-orang
di warung kopi tadi, maksudku bandit yang telah menamparku, ingin menghilangkan
nyawa gadis itu? Apakah aku akan berani melawan mereka. Tiba-tiba badanku
menjadi dingin.
Mereka akan menembak gadis itu. Dan dari sudut ini aku akan
melihat kejadian tersebut. Sanggupkah aku menyelamatkan gadis impianku itu?
Pikiran lain tiba-tiba melintas. Sebuah pertanyaan dari sudut
paling kelam dari hatiku: apabila dia bukan seorang gadis rupawan, tapi seorang
gadis yang berkulit hitam dan buruk rupa, apa mungkin aku akan menolongnya?
Aku mulai linglung oleh pertanyaan-pertanyaan yang jahanam ini.
Si pejabat teras dan kawannya keluar dari kedai kopi. Para
pengawal berbaju loreng merah-hitam mengikutinya. Oh rupanya perempuan gempal
yang memakai rok selutut kawan mereka juga. Mereka saling melambaikan tangan,
meskipun menaiki mobil yang berbeda.
Di tengah kebingungan, aku menatap kembali gadis idamanku.
Tetapi.gadis impianku sudah tidak ada. Aku mencarinya ke sudut-sudut lain. Aku
menemukan gadis itu. Wajah gadis itu berubah. Dia sekarang punya wajah yang
paling mengerikan. Aku melihat tangan kanannya menyibakkan rok; menyentuh
sesuatu pada pahanya.
Terdengar bunyi letusan senjata api.
Si brewok dan si lelaki berambut putih jatuh terkapar.
Orang-orang di persimpangan itu melupakan gadis itu. Mereka berkerumun melihat
dua tubuh tak bernyawa di persimpangan itu.
Aku melihat gadis itu menarik pelatuk. Setelah itu dia pun
melihatku. Mata kami beradu. Dia tersenyum. Ya Tuhan dia masih sempat
menggodaku. Aku berdiri kaku, entah gemetar oleh kejadian itu, atau oleh
godaannya. Mungkin keduanya. Lalu aku melihat gadis impianku itu dijemput oleh
sebuah mobil hitam. Dalam sekejap mobil itu meluncur menuju arah selatan.
Hingga bertahun-tahun kemudian aku tak bisa melupakan gadis yang
aku cintai itu, gadis pemberani, berbaju merah, berjilbab kuning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar