Malam telah bersama sinarnya bulan. Tidak
temaram, cahayanya menyinari jalan setapak ke arah rumahku. Dari simpang tujuh
aku berjalan pelan. Setelah motorku hilang di curi orang, tepatnya magrib tadi
usai salat di mesjid raya. Jadilah aku naik labi-labi sampai ke simpang tujuh.
Aku tak langsung pulang memang. Segelas bandret
dan pisang goreng yang kalau istilah org daerah sini dengan Bada Teucroh
mampu mengahmabat rasa lapar. Bandret tipe biasa jadi pesananku, di antara
bandret susu atau bandret telur ditambah susu. Sepiring pisang goreng ku lumat
habis. Gerimis hujan mulai turun. Rintik-rintiknya jatuh menghantam bumi Tuhan.
Bumi para syuhada, bukan bumi penguasa.
Aku tinggal sendiri di kota ini. Untuk
mahasiswa tingkat akhir tugas rutinnya menjumpai
dosen wali yang baik budinya. Cuma aku saja yang malas.
Aku membayar bandret dan pisang goreng. Sejenak
aku melihat ke jalan. Lalu lalang orang sudah mulai sedikit. Entah berapa jam
aku bersantai khas lajang. Aku jalan pelan. Dinginnya Koeta Radja, tanganku pun
kumasukkan ke dalam jaket. Botol minuman kaleng aku tendang sampai ke depan
warkop seberang. Bebrapa orang yang baru datang ke Koeta Radja bakalan bingung
memilih jalan bila sudah di simpang tujuh. Aku pun dulu juga begitu. Tapi sekarang
tidak.
Jalan Lamreung menjadi tujuanku. Dari jalan ini
bisa tembus ke Darusdalam juga ke makam T Nyak Arief. Di pinggir jalan di
tumbuhi pohon asam jawa. Rindangnya asam jawa ditambah batangnya yang terlihat
menua, menambah gelapnya jalan ini. Toko-toko di jalan ini sudah pada tutup
semua. Cuma ada 1 kios yang masih buka. Bapak itupun langsung menutup kiosnya
ketika aku sampai di depannya. Entah apa dia pikir tentang wujudku ini.
Aku berjalan sambil menunduk. Angin sesekali
menghampiri helaian rambutku. Seperti suara
tangisan perlahan terdengar. Makin dekat, makin tersedu-sedu. Di jembatan kecil
itu tampak sesosok manusia. Dia memakai gaun warna merah. Wajahnya menunduk.
Aku menghampirinya. Smbil berkata "Hallo!"
Dia tidak menjawab. Dari kejauhan bajunya
tampak merah memang, kalau dekat malah tampak putih memanjg ke bawah. Aku
sempat kaget, jangan-jangan. Aku terkejut ternyata ini bukan manusia. Tetapi
wanita yang sedang gentangan. Helai bulu kuduk tak bisa di suruh duduk lagi.
Mereka bangun sendiri.
Dia memegang tanganku. Dia membalik tubuhnya.
Aku terpana, wajahnya putih bersinar. Giginya putih ditambah rambutnya yang
terurai. Seperti bukan. Aku tercegat untuk kabur. "Maukah kau bicara denganku
sejenak?" ucap wanita itu. Aku mengiyakan saja, walau rasa takut tak elak
kutahan.
Dia sudah lama menanti sesorang yang datang
menghampirinya. Di jembatan ini juga. lelaki itu sampai seminggu-an tidak menjumpainya
kala itu. Dia bahkan tetap menunggu. Yakin dengan janji sang lelaki. Lewat
handphone mereka mengikat janji. Malam-malam menjadi buah rindu bila sejenak
tidak menyapa.
Menunggu bukan perkara ringan. Bila malam sudah
larut, maka dia baru pulang ke rumahnya. Paginya, dia kembali menunggu. Di
jembatan yang sama. Ya masih lelaki yg sama. Itu tidak lama. Dia termasuk
korban konflik negeri ini.
Pada malam itu dia diperkosa aparat secara bergiliran,
sangat beringas. Dia pun lalu ditembaki. Mayatnya mati tanpa ada yang tahu.
Aparat mengikat tubuhnya dengan batu, lalu ditenggelamkan ke dalam air di bawah
jembatan.
Lelaki yang diinginkannya malah tidak kunjung
datang. Justeru gerombolan lelaki hasrat yang menghampirinya. Wajah cantiknya
sudah tidak ada lagi. Maka, tiap malam diapun masih menunggu lelaki yang sama.
Karena wajahku mirip dengan lelaki yang dicintainya, diapun mendekat kearahku.
Ceritanya yg tadi sangat memilukan. Dia juga
sadar kalau aku bukanlah lelaki yg dicarinya itu. Diapun melepas genggaman
tanganku. Aku tersenyum. Katanya, aku
boleh pergi. Dia meminta maaf juga sudah menghambatku. Tetapi aku tidak marah,
putih wajahnya memikat hatiku. Ah atau ini cinta ya, oh Tuhan.
Sadar diri kalau dalam alam yang lain. Dia
mempersilahkanku pulang kerumah. Dia berucap senang karena aku sudah mau mendengar
ceritanya. Dia tersenyum. Baiklah. Mungkin malam besok aku dapat menjumpainya
lagi. Aku menjauh darinya dengan berjalan terbalik. Agar tetap selalu melihat
wajah manisnya.
Beberapa langkah wajahnya masih menyiratkan
senyum termanis dan terindah. Sampai di depan lorong memasuki komplek tempat
tinggalku, aku berbalik badan karena telah di jalan yang baru. Langkah kedua
aku malah ingin melihatnya lagi. Tetapi, dianya sudah tak ada. Jembatannya kosong.
Asap dari pembakaran sampah rumah sebelah memutihkan jemabatan tadi.
Aku harap malam esoknya aku kembali berjumpa.
Seraya aku juga punya cerita soal cintaku. Ah dia memang manis, walau awalnya
menyeramkan.
***
Malam yang kutunggu telah tiba. Aku mengulang
sperti malam lalu. Pulang telat. Berharap berjumpa dengannya lagi. Berharap
melihat senyumnya. Tetapi, aku tak menjumpainya lagi. Lama aku di
sana. Sambilan menghisap cerutu terakhirku. Aku duduk di jembatan sambil menearwang
kemana mana. Mugkin ini bukan malam terbaikku. Dia tidak datnag. Aku teringat
pesannya malam sebelumnya. "Kau tak perlu menjumpaiku di malam-malam
lain".
Namanya saja lelaki tetap berusaha. Nyatanya benar saja ucapannya. Aku bahkan tidak
mencium wangi mawar dari tubuhnya. Selayaknya aku pernah menyenangkan orang
lain dengan mendengar ceritanya. Walaupun dia bukan lagi manusia. Ya kuharap,
menemukan gadis sepertinya.
Aku tersenyum, melangkah pulang. Dalam batin
penuh yakin, bakal ada yg sedang menunggu. Ya dengan sama-sama menunggu suatu
saat. Yakin pada-Nya.[*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar