Penulis : R.h.
Fitriadi
Penerbit : PRO-BOOKS
Tebal : 412
Halaman
Tahun : Cetakan I,
Januari 2012
ISBN :
978-602-8941-06-9
Mendambakan sebuah novel yang baik adalah dambaan setiap
penulis dan pembacanya. Di dalamnya diharapkan mampu mengembangkan berbagai ide-ide terbaru untuk
mengupayakan gagasan pendukung yang sesuai dengan konteks kekinia. Hal ini diperlukan agar para
pembaca dapat mengaktualisasikan nilai-nilai yang dikandung dalam sebuah novel. Menghargai antara makhluk dan
makhluk. Secercah harapan itu
timbul di novel “Marwah di Ujung Bara”, garapan R.h. Fitriadi.
Awal langkah yang baik saat mahasiswa menolak diberlakukannya status darurat militer di Aceh.
Mereka adalah
mahasiswa dari BEM Universitas Syiah
Kuala dan BEMA IAIN Ar-Raniry. Hal ikhwal, mahasiswa tersebut tidak menyutujui diberlakukannya darurat militer di
Aceh. Lantaran mereka tidak ingin Aceh kembali berdarah, yang hanya menimbulkan
luka-luka bagi rakyat sipil.
Sungguh ironis memang kalau sempat diberlakukan darurat
militer tersebut. Banyak raga tak berdosa jadi korbannya.
Mereka antusias untuk menggalang dukungan dari mahasiswa dan juga masyarakat. Ini harapan
mereka, berharap bisa mengumpulkan masa seperti yang terjadi saat Referendum
yang di gagas oleh SIRA. Namanya saja ide, tetap ada saja yang kurang setuju.
Pihak-pihak mahasiswa yang takut untuk bersuara hanya karena izin melakukan aksi
penolakan belum memiliki izin dari pihak kepolisian daerah Aceh. Wajar, ini lazim bagi
setiap orang, namun itulah pencundang kilah pihak Fauzan Zaid, Alhijri dan
Meurah Muda. Fauzan sebagai BEM Unsyiah memegang ujung kepemimpinan penolakan.
Fauzan sangat besar harap darurat militer tidak terjadi di Aceh. Fauzan di
kenal sebagai sosok pemberani dan punya pemikiran-pemikiran yang mampu membuat
orang di sekelilingnya percaya padanya.
Sebaliknya Ayah Fauzan yang juga Ketua DPRD Aceh kala itu.
Dialah Abu Hamzah, beliau tidak mengizinkan Fauzan melakukan hal sedemikian.
Beliau beranggapan bahwa status darurat militer sudah menjadi keputusan
pemerintah pusat. Sampai-sampai karena banyaknya pertimbangan dari
mahaiswa lain membuat pikiran Fuazan kacau, dia akhirnya membuat penolakan itu
sendiri. Dia berani menentang peraturan tersebut, sekaligus menentang ayahnya
sendiri yaitu Abu hamzah.
Di lain kisah timbul Meurah Muda yang begitu benci kepada
pihak militer yang telah merenggut keluarganya. Ayahnya dibunuh hanya karena lantaran
informasi yang keliru. Abang-abangnya menjadi buronan pihak militer. Mereka
menganggap keluarga Meurah Muda adalah antek-antek separatis GAM. Meurah Muda dipenuhi sangat menolak diberlakukan status darurat militer di
Aceh. Dia telah menumbuhkan kebencian yang mendalam terhadap pihak militer,
apalagi yang berasal dari tanah Jawa. Dia menganggap semua orang-orang yang
berdarah Jawa adalah sama, tidak memandang peri kemanusian yang telah
menghancurkan keluarganya. Ini menjadi retorika kehidupan Meura Muda di dunia akademik dan organisasinya. Dia berjumpa dengan Indah Nigrum. Indah, gadis
berdarah Aceh-Jawa.
Masa kecil Indah di lalui di Langsa. Sampai pada kekisruhan
yang terjadi di Aceh timur membuat lahan-lahan kakao garapan ayahnya, kacau
hanya karena konflik berkepanjangan ini. Pilu amat terasa pada Indah, dia juga
tidak senang konflik ini terus-terusan menimpa warga sejagat tanah Hamzah
Fansuri ini. Namun, Muda melihat Indah sama saja dengan etnis-etnis Jawa
lainnya. Tapi, sebenarya hati Muda berkata lain terhadap Indah. Hingga
kebenciannya pada Indah berujung pada kisah renggangnya hubungan mereka. Lain
hati Muda memendam rasa bersalahnya, dan saat Indah di vonis dokter mengindap
penyakit kerusakan satu ginjalnya, Muda mencoba membantunya, dia meras telah
salah dalam menafsirkan siapa sebenarnya Indah. Bentuk tubuh manusia boleh
sama, dari mata yang sipit dang agak temben cirri khas etnis Jawa. Muda yang terpaksa harus
pindah ke Medan untuk menjaga dirinya dan menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan olehnya.
Di sudut yang lain timbul Al Hijri mempunyai kisah yang unik
akan kisah konflik dirinya. Ayahnya adalah polisi yang sudah pensiun. Saat
pulang dari Mushalla menunaikn shalat subuh, ayahnya di tembak orang tak
dikenal. Spontan ayahnya ambruk dan meninggal di subuh sunyi itu. Spontan Al
Hijri sentak, kesalahan apa yang dilakukan ayahnya, padahal ayahnya juga sudah
pension dari kepolisian.
Tidak selesai disana, Al Hijri di bawa oleh pamannya ke
Medan beberapa bulan untuk mengikuti pelatihan intelijen kepolisian. Al Hijri
menyutujuinya, dia menganggap pesta perang ini harus segera di sudahi. Al Hijri
di posisikan di Universitas untuk menginformasikan gerak-gerik aktivis
mahasiswa di kampus. Sangat susah untuk menjelaskan semuany pada Muda dan
kawan-kawan di kampus, dan itu tidak dilakukan oleh Al Hijri. Dia tetap pada
keinginannya awal untuk menghentikan genderang perang ini. Inilah cara dia.
Kesulitan pekerjaan membimbanginya antara menangkap hidup-hidup buronan yang
juga teman dia sendiri, Meurah Muda. Muda lolos dari penyergapan setelah
sebelumnya mendapatkan SMS misterius yang menyuruhnya untuk tidak berada di
Indekosnya besok. Muda menurutinya, intinya SMS tersebut bisa jadi dari Al
Hijri. Status Al Hijri sebagai intelijen, memang tidak diketahui oleh Muda.
Strategi yang akuratif.
Penulis memaparkan kejadian dengan menggabungkan kenyataan
yang ada dalam konflik berkepanjangan di Aceh. Mengajak kita untuk terus
membacanya. Saya setuju dengan makna dari kisah ini yang disampaikan oleh
penulis kepada pembaca. Kita seharusnya melihat orang lain sebagai objek yang
berguna. Manusia diciptakan oleh Allah. Namun untuk cerita-cerita yang seperti
ini, sudah sangat umum di ketahui oleh masyarakat Aceh. Bila novel ini di
publikasikan di luar Aceh, maka akan sangat dominan peminatnya. Intinya penulis
menginginkan kita tidak memandang orang hanya hanya dari sukunya. Itu bukanlah
suatu pijakan kita dalam bertindak.
Akankah Fauzan berhasil menghilangkan status daerah darurat militer untuk Aceh? Bagaimana kelanjutan hubungan antara Meurah Muda dengan Indah Ningrum? Atau status Al Hijri sebagai inteljigen diketahui oleh Meurah Muda? Kita tunggu saja kelanjutan novel dwilogi "Marwah di Ujung Bara" yang akan segera terbit.
Akankah Fauzan berhasil menghilangkan status daerah darurat militer untuk Aceh? Bagaimana kelanjutan hubungan antara Meurah Muda dengan Indah Ningrum? Atau status Al Hijri sebagai inteljigen diketahui oleh Meurah Muda? Kita tunggu saja kelanjutan novel dwilogi "Marwah di Ujung Bara" yang akan segera terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar