Minggu pagi
itu, saya 'digegerkan' dengan kedatangan sms dari Aslan Saputra. Dia
menanyakan alamat Riri Istafha perihal peminjaman TOA dari kawan dekatnya.
Cepatnya kami sms-an malah sudah seperti lagi
BBM-an. Padahal saya dan Aslan sama-sama pake hape buntut. Aslan tampak bingung
mengenai alamat kosan Riri. Katanya waktu dia menelpon saya, bingung dengan
penjelasan rumit dari Martunus. Lika-liku ke alamat tempat tinggal Riri
membingungkan. Kemudia Aslan tanya lagi, “Bang dimana tempat futsal ****** (belum
lulus sensor)”?. Lantas saya jelaskan dimana tempat futslanya. Aslan ya ya saja
apa yang saya katakan, paham bener Aslan, saya membatin.
Hujan juga masih belum reda. Kadang-kadang gerimis, kadang kalang kabut
airnya diterpa angin. Kalaupun ada Syahrini di samping saya pagi itu, pun bulu
mata anti badai dia juga gak bakalan menang. Yuhu mbak Syah, kalahkan sama
kuasa Tuhan. Suasana hujan begitu, saya sms bang ferhat. “bang jadi kita
jelajah budaya? *cuaca”. Bang Ferhatt.com membalas, “Iya jadi, ini bg mau
kesana lagian udah redaan hujanya”.
Saya menuju ke Museum Aceh. Di jalan sudah ramai kembali, beberapa orang
nekat mengendarai motor di tengah hujan. Sampai di Museum Aceh, tepatnya di
Rumoh Adat Aceh. Wajah pertama yang mentereng ya bang Ferhatt.com, tampak
cemberut dan kedinginan, sayanglah belum ada pendamping hahaha. Sejenak
kemudian menyusul bang Dony Daroy, Aslan dan bang Nazri Syah. Dari bang
Nzarilah saya tau kalau rumoh adat Aceh ini bukanlah yang aslinya milik Cut
Nyak Dhien, ini bisa dikatakan sebagai monumen yang dibuat oleh pemerintah.
Katanya kalau yang asli ada di Lhok Nga, Aceh Besar.
Yang datang lebih awal |
Masih belum banyak yang datang. Saya dan yang lain rencana mau
membatalakan jelajah budaya ini. Pastinya yang akan memfatwakan pembatalan
jelajah budaya ini ya bang ferhatt.com selaku pemangku FLP, kami-kami yang muda
masih harus banyak pelajari dulu ilmu-ilmu aneh dari beliau. Sayapun kalau jadi
pembatalan harsu tsiqoh dengan fatwa
ini.
Perkiraan saya jam 10 lewat ibu Laila selaku pemandu jelajah budaya
datang ke Museum Aceh bersama anaknya. Jelajah budaya ini adalah termasuk ke
dalam kelas menulis juga, yang nantinya setiap peserta diwajibkan menulis dari
hasil jelajah budaya tersebut. Setau saya ini adalah jelajah budaya pertama
kali yang dilakan oleh FLP. Sebelum-sebelmunya kelas menulis banyak dimeriahkan
di Rumah Cahaya (Rumcay).
Situs pertama yang kami kunjungi yaitu makan Sultan Iskandar Muda. Pada
saat kita datangi pertama memang sudah ada pamflet nama menandkan bahwa itu
adalah makan Sultan Iskandar Muda. Bentuk makamnya berbeda jauh dengan
makam-makan raja terdahulu. Pada badan makamnya dihiasai dengan ukiran-ukiran
aksara Arab. Dari penjelasan Ibu Laila barulah saya tau ternyata ini bukan
makam Sultan Iskandar Muda. Ini cuma monumen saja, karena pemerintah sendiri
tidak tau lagi diman sebenarnya makam asli Sultan Iskandar Muda. Pantas saja
saya sedikit curiga dan ragu pad saat pertama kali melihatnya tidak seperti
pada makam-makan pahlwan Aceh lainnya. Tidak menampakkan bahwa itu adalah makan
raja yang disertai biasanya dengan juru kunci makam. Sultan Iskandar Muda
dikenal seantero Asia Tenggara, perihal kekuasaanya hampir menguasainya pulau
Sumatera. Hubungan politiknya dengan pihak luar, semisal Sultan-sultan di
Turki.
Monumen Makan Sultan Iskandar Muda |
Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat, barulah digantikan oleh Sultan
Iskandar Tsani. Banyak orang tidak tau bahwa Sultan Iskandar Tsani banyak
berkecimpung dalam suasana arah pergerakan politik, pendidikan, dan kebudayaan
bagi masyarakat Aceh. Kebanyakannya orang lebih mengenal sosok Iskandar Muda
ketimbang Iskandar Tsani. Ini karena pengaruh dari pembicaraan-pembicaraan
masyarakat awam saja. Sebenarnya ada situs-situs cagara budaya di Aceh yang
suda mendapatkan SK (Surat Keterangan) dari awalnya. Tempat-tempat di Banda
Aceh seperti Mesjid Raya Baiturrahman, Tower Air, Makam Kerkhof, Gunongan, dan
beberapa situs lainnya. Kalau tidak ada SK-nya maka tidak bisa disebut sebagai
cagar budaya, padahal untuk saat ini SK tersebut bisa dikeluarkan oleh Gubernur
atau Bupati/Wali Kota, begitu penjelasan dari Ibu Laila.
Jelajah budaya dilanjutkan mengunjungi Kandang Meuh, yang merupakan komplek makam-makam keturunan
raja-raja aceh. Di arena pekuburan ini ada makam orang dewasa dan beberapa
makam anak-anak, namun tanpa keterangan. Komplek makam Kandang Meuh ini terdiri dari makam Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah, (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, Tuanku Zainal Abidin dan keluarga kerajaan lainnya.
Dikatakan Kandang Meuh, karena
dulunya makam-makan yang ada disini semua dilapisi dengan emas. Namun, karena
proses zaman dan rasa cinta yang kurang, kebanyakan terjadinya aksi penjarahan.
Sehingga hari ini kita Cuma mengenal namanya saja Kandang Meuh yang dalam bahasa indonesia berarti makam-makam emas.
Sebelah makam Kandang Meuh ini ada
juga gedung Juang, bekal peninggalan masa perang kemerdekaan dulu. Pintu
depannya sudah digembok. Perawatannya sangat kurang, ada sebagian dinding
gedung ini terkelupas.
Komplek Makam Kandang Meuh |
Tak jauh dari gedung juang, kami melanjutkan jelajah
budaya kemakam berikutnya. Pada komplek makam ini lebih besar ketimbang komplek
makam Kandang Meuh dan
almarhum-almarhumah keturunan raja-raja dulu juga lebih banyak. Saya sempat
bertanya pada ibu Laila perihal perbedaan sebutan bagai kaum laki-laki di Aceh.
Ada empat katerogi dan ‘kelas’, yaitu Teungku, Tengku (tanpa U), Teuku, dan
Tuanku. Berikut saya rincikan:
1.
Teungku; sebutan
dikhususkan bagi ahli ilmu-ilmu agama atau pemuka agama/ulama.
2.
Tengku; sebutan bagi
saudagar bangsa Bugis yang datang ke Aceh.
3.
Teuku; sebutan bagi
orang kaya/saudagar yang ada di Aceh.
4.
Tuanku; sebutan bagi
keturuan-keturunan Melayu yang mendominasi wilayah Aceh.
5.
Thank You!
Peserta Jelajah Budaya FLP Aceh |
Makam Keturunan Raja-raja Aceh |
Kami menelusuri kembali komplek Museum Aceh. Semua peserta jelajah
budaya menuju Rumoh Adat Aceh. Tepat kami datang, tepat pula di tutup untuk
waktu kunjungan. Saya ambisisu ingin masuk ke dalam rumah adat Aceh itu. di
bawahnya di lengkapi dengan jeungki,
alat tradisional pembuat tepung masyarakat Aceh, meriam masa perang, kayu pohon
Peureulak, Geureubak, dan ada juga Krong Pade,
sebagai tempat menyimpan hasil panen padi.
Ceuklik Sigo Hai! |
Rumoh Aceh |
Kalo gak mau foto, kenak doorrr... ! Van Cheng dan Pasukannya |
4 komentar:
Bang, tulisannya banyak yg tinggal kok huruf-hurufnya ?
Mantabb :D
Lengkap ya penjelasannya bang,.. hehe
Aslan : iyaa lan, buru2 kmren nulisnya hehe
daraaa : detail ya, hahaha, padahal gk tau bnget tuh yg jelajah kmren, hehe
Posting Komentar