Sebongkah rasa masih terbayang-bayang
dalam ingatan Safir. Tatkala ia hendak membaca buku tokoh-tokoh Indonesia di
kamar tidurnya. Suasana dingin begitu menyerap dalam tulang-tulang tubuhnya.
Seakan kaku dalam es yang beraroma segar, menusuk sel-sel kehidupan birahi
duniawi. Beberapa jejak tapak buruh bangunan terdengar menginjak batu-batu
kerikil yang bertebaran di jalan-jalan Komplek Pusaka Jamee. Tak pelak dalam
dinginnya angin memasuki ruangan kamar Safir. Mereka melikuk-likuk di
bilik-bilik gorden. Mereka ingin terus menari bersama-sama. Pukulan-pukulan
domino yang dimainkan bapak-bapak pembenci para isteri-isteri yang hanya
merepet kala pulang kerja. Isteri-isteri yang hanya berbagi kasih dengan mal-mal yang ada di kota. Tanpa tahu
kebutuhan jasmaniah imamnya. Sungguh materialisme menjelma dalam benak mereka.
Dunia seolah bagai milik mereka-mereka yang berkelompok, tanpa menghiraukan
tetangganya yang barangkali sulit dalam pendapatan hidup. Safir menempati kamar
tengah dari tiga ruang kosan yang pemiliknya terkenal kurang bersahabat dengan anak kos. Di kamar sebelah rasa-rasanya akan
nada gejolak jiwa-jiwa penuh hasrat akan buaian asmara penuh dosa. Safir
menutup telinganya tak mau mendengar suara-suara aneh nan durja. Para pengumbar dosa.
Melawan itu semua, hampir di setiap
tengah malam Safir
merasakannya. Dia mahasiswa awal yang baru semester awal berada di Kuta Raja.
Safir memiliki kelainan pada kepribadiannya. Rada-rada gangguan fungsi
kelancaran proses berpikir. Terkadang Safir salah dalam berbuat untuk kebutuhannya.
Tak jarang selama sebulan ini Safir hanya berdiam diri di kamar mendengar
kata-kata kenakalan. Sungguh dia terbeban. Arah sorotan matanya terbelalak ke
jam yang tanpa henti detak-detak waktu menghidupkan kelam malam itu. Senter handphone
miliknya dinyalakan sebagai penerangan membaca novel bekas patungan dengan
kawan SMA dulu. Kini menjadi miliknya. Kelambu putih menghidarinya dari gigitan
nyamuk-nyamuk pencari nafkah ragawi. Nyamuk-nyamuk pemberani. Sebuah perjuangan
nyawa bagi kelangsungan hidup ke depan. Kain batik panjang menutupi
tubuh Safir. Bantalnya pun sudah tampak goresan-goresan yang membentuk
sebuah pulau.
Tak ada kehirauan dalam dirinya. Ini hal biasa. Safir tidak mempedulikan. Tidur malam ini dibuai oleh
mimpi-mimpi yang akan menjadi impian. Cekukan tetangga rumah sebelah, lagi-lagi menambah irama bagai
sebuah orkestra di malam petaka ini, juga bunyi stir kendaraan tetangga depan
yang sangat memekik telinga. Sesaatpun bunyi stir itu dimatikan pemiliknya
lantaran kena marah sama tetangga sebelah. Kegundahan merangsek dalam
serpihan-serpihan kebimbangan Safir akan kepentingan dia dalam berpikir untuk mengikuti
ujian di kampus
besok. Kampus Universitas Syiah Kuala.
Baru seperempat malam dia
melaluinya. Suasana agak begitu sepi. Jangkrik pun sudah lelah berorkestra seirama sendu di malam Senin. Hanya kamar
sebelah yang masih terdengar kegaduhan. Sampai kapan Safir tidak tahu
kelanjutan mereka. Geli-gelitik membuat mereka tawa-tawa kecil suka cita. Tanpa
tahu saat duka cita, sampai di liang di tanyai malaikat Munkar wal Nangkir.
Entahlah, mereka manusia-manusia tanpa
mendambakan kelembutan hidup dan tidak menjadikan rasa syukur sebagai rasa
nikmat yang Illahi berikan. Sepintas kenangan di kampung datang menjuntai dalam
benak Safir. Kala dia menatap baju pemberian Paman Farid di belakang pintu
kamar kostnya. Baju itu diberikan saat dia mau berangkat ke Kuta Raja.
***
Entah seberapa jauh juga kesenjangan
antara kokok ayam kampung dengan ayam siam. Mereka saling membusung dada,
mengagungkan diri. Lirik ayam betina seolah tak menghiraukan sang jantan. Buat
apa, lantaran betina sedang mengasuh anak-anaknya. Merpati sedang terbang membumbung tinggi di atap rumbia
rumah Miwa Rabumah. Beliau isteri paman Farid. Keseharian beliau biasanya
bekerja membuat atap rumbia dan mengayam tikar pandan. Tikarnya pun di kenal di
kampung Kumbang. Tiap hari kamis beliau membawa hasil anyamannya ke pasar
Geulumpang Manyang. Saat sedang asyik-asyiknya mengayam tikar, Safir datang
dengan sepeda kecil nan unik pemberian almarhum Ayahnya. Safir melihat gelagat Miwa
Rabumah menyukai kedatangannya. Salam terucap ciri khas anak-anak. Kewajiban
kita menjawab salam dan Miwa Rambumah tidak melupakannya. Safir duduk di bangku
bambu. Bangku tersebut sudah mengkilat. Ada tanda hitam di tempat bersandar.
Sepertinya bekas keringat penduduknya. Safir hanya berbincang-bincang biasa.
Raut wajahnya tampak ceria. Miwa Rabumah mengatakan kalau paman Farid sedang ke
kebun milik Apa Kasem. Hari ini paman Farid berdinas memanjat pohon kelapa.
Safir meninggalkan rumah Miwa
Rabumah. Laju kencang sepedanya meliku-liku di jalan-jalan kecil perkebunan
kopra. Melewati kebun-kebun kopra, tempat anak-anak dan pemuda kampung main
sepak bola. Jarak semakin dekat dengan kebun kelapa Apa Kasem. Rem sepeda
menghentikan sejenak kaki Safir. Paman Farid sedang duduk istirahat. Arah kaki Safir mendekati paman Farid.
“Ada apa Safir?”
“Jumpa sama paman, kata Miwa Rabumah
paman sedang di kebun kelapa Apa Kasem”.
“Hmm… kamu tidak sekolah hari ini?”
“Kan libur paman, libur Isra’ dan
Mi’raj”.
“Oh ya, paman gak lihat kalender
hari ini”.
Safir dipersilahkan duduk di
sampingnya. Buah kelapa sebagai alasnya. Di depan Safir masih ada sisa kue dan
juga air kopi dan teh hangat racikan Nyak Dollah. Safir menuangnya dalam batok
kelapa. Dia meminumnya sambil sedikit-sedikit. Kopinya masih berasa panas. Dau
potong kue hinggap sudah di mulutnya. Rasanya legit dan nikmat. Hari ini paman
Farid tampaknya begitu lelah. Tak seperti biasa yang bugar walau
sebenarnya dia capek. Bulatan bakung masuk ke mulutnya. Dia tidak merokok lagi
lantaran batuk yang dideritanya beberapa tahun belakangan. Kini di diagnosis
dokter sudah sembuh. Namun, paman Farid juga tetap betingkah. Dia suka
menghisap bulatan bakung. Padahal kan sama saja rokok dan bakung. Sama-sama
bahayanya. Ini baru cuma sebagian masalah yang dideritanya. Paman Farid
akhir-akhir ini diketahui Safir kalau tidak pernah pergi shalat jum’at. Saat di
tanyai Safir, paman Farid malah mengatakan beliau selalu pergi shalat jum’at.
Katanya beliau pergi lewat jalan setapak belakang rumah. Sebaliknya, Safir
masih ragu dengan pencerahan paman Farid. Dalam sebulan ini Safir sampai
beberapa kali menanyai sama pamannya. Maksud niatnya pun hari ini jumpa paman
Farid tak lain adalah melanjutkan ekspedisi penelitiannya. Berbekal pertanyaan
cirri khas anak-anak yang memojokkan orang dewasa. Safir mulai bercerita sama
pamannya kalau jum’at yang lalu ada khutbah sangat baik tentang melaksanakan
shalat jum’at. Khatib mengatakan kalau kita pergi ke mesjid pada hari jum’at
dan melaksanakan shalat fardhunya adalah mendapat ganjaran pahala seprti kita
naik haji. Juga berbagai hal-hal yang menyangkut musibah apa yang akan menimpa
bagi orang-orang yang tidak shalat jum’at. Sepuluh menit menghilang saat
pekikan suara elang melintas di dahan pohon mangga golek kebun sebelah. Raut wajah
paman Farid seolah tak ingin mendengar kelanjutan cerita Safir. Lantas dia pun
angkat bicara.
“Kamu mau mengajari paman heuh?”
“Bukan, saya cuma mau bialng saja
sama paman, kan gak salah?”
“Ngak perlu banyak bicara lagi,
sekarang kamu pulang…! Kamu dengar ngak paman bilang!? Pulang sana…!!!”
Di kebun itu hanya degap jantung dan
suara nafas Safir dan paman Farid saja. Tak ada kehidupan lain yang seperti mereka.
Sepeda yang ditambat di pohon kelapa diambil Safir. Dengan wajah cemberut dan
rada-rada takut. Dia membelakangi paman Farid. Menuju ke rumahnya. Paman Farid
tinggal sendiri, dan termenung beberapa saat setalah kepergian Safir dan
menatapnya pergi. Penuh iba dalam hatinya. Kenapa dia begitu tega terhadap anak
kecil. Ayahnya pun sudah tiada. Semestinya dia lah yang memberi nasehat buat Safir. Dia membantin, matanya
kemudian berkaca-kaca.
Jauh juga paman Farid untuk menjumpai Safir di hari
minggu ini. Safir mungkin sudah menceritakan ke ibunya. Tapi, Safir bukanlah
tipe anak perengek dan manja. Dia lain, kuat dan suka membantu. Langkah sepeda
melintasi jalan kampung Kumbang. Jarak rumahnya tidak begitu jauh. Barang
sekitar 500 meter saja. Di rumah Safir, paman
Farid agak malu berjumpa Safir. Dia memberanikan diri. Safir duduk di atas
kursi plastik. Dia memegang celananya yang sudah sobek. Paman Farid menyapanya.
Mereka saling menghadang mata dalam beberpa puluhan detik. Maksud hati paman
Farid pun berkata. Dia ingin mendengar kelanjutan isi khutbah jum’at
yang diceritakan Safir kemarin. Safir bingung, mau melanjutkan atau tidak. Bisa
saja pamannya mulai sadar. Lantas tak diam lagi, Safir menyegerkan epilog
khutbah minggu lalu. Akhir cerita paman Farid senyum menghampirinya.
“Ayo kita ke toko baju!” ajak paman
Farid dengan seuara lembut.
“Untuk apa paman?”
“Beli baju buat kamu Safir”.
“Hmm… baiklah paman”.
“Ya sekalian paman mau mampir beli
perlengkapan shalat”.
“Alhamdulillah”.
Safir pamit pada ibunya dihalaman
rumah yang sedang menjemur gabah, hasil panen minggu lalu. Paman Farid memboncengnya.
Sepeda motor butut
mereka pun
sangat nyentrik. Mereka pun melaju bersama kendaraan
lain.
***
Sebuah gigitan tikus mengejutkan lamunan Safir. Tepat mengenai kaki kelingkingnya. Dia tahu harus
segera di basahi dengan air panas. Biar bakteri-bakteri yang ada di bekas
gigitan tikus hilang. Pengalaman Safir kala di kampung. Katanya tidak ada obat
untuk gigitan tikus. Kalau bukan dengan di basahi air panas. Namun, rasa sakit
itu menyenangkannya.
Dia memiliki paman yang sudah berubah, lebih dekat
dengan Illahi. Safir memanaskan dispenser. Sambil menghidupkan lampu kamar. Dia
melanjutkan membaca buku kembali, walau malam telah sepi. Hanya suara-suara
nyamuk masih mengintainya. Hujan pun turun perlahan, semakin sedap saja malam
itu. Jelang
waktu shubuh masih terlalu lama, Safir kemudian menarik selimutnya beriring
membaca doa sebelum tidur. Senyum manis di dua bibirnya sumringah pelan.
Anugerah terindah melintas malam ini, semacam takjub dan kagum akan apa yang
telah dia lakukan mengajak Paman Farid pada sebuah kebaikan dalam ibadah. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar