Islam telah mengajak manusia kepada jalan
kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Tentunya salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan tersebut adalah dengan
adanya pendidikan. Ketika islam dijadikan sebagai tolak ukur pondasi
pendidikan, maka akan terlaksananya pendidikan yang sejahtera dan beradab mulia
bagi tumbuhnya para peserta didik yang masih belum mencapai suatu keselarasan
akhlak. Pendidikan adalah pembangunan yang sejatinya membutuhkan keinginan kuat
untuk pencapaiann kesejahteraan itu sendiri dengan pembangunan sikap dan mental
individu.
Sistem pendidikan yang ada sekarang
ini tidaklah berupaya menjadikan para peserta didik ke arah yang diinginkan.
Banyak sudah kasus-kasus yang menimpa peserta didik kepada arah kegelapan yang
nyata di sekitar kita. Aksi-aksi brutal dari peserta didik baik siswa maupun
mahasiswa, memberikan suatu contoh bahwa pendidikan sekarang ini sudah salah
kaprah dan terisolir dari garis yang telah disusun. Perbuatan mesum, judi,
narkoba dan lainnya adalah telah sangat lazim bagi dunia peserta didik kita. Kini semua terjadi karena
pengawasan orang tua yang terlalu membiarkan putra-putrinya untuk ambil bagian
dalam kejadian ini. Lebih-lebih bila mana ada guru yang mengajak siswanya untuk
saling berpacaran agar katanya saling tumbuh motivasi terhadap minat belajar.
Padahal ini sudah di luar nalar pribadi kita sebagai seorang muslim yang
berakhlakul karimah. Bahkan lebih dari itu gurunya pun ikut andil dalam berbuat
mesum dengan siswinya. Yang pemahamannya atas dasar suka sama suka. Padahal
pacaran yang baik itu adalah setelah menikah. Kita akan merasakan kelezatan
yang seimbang karena sudah halal bagi kita. Inilah hal-hal yang menjadikan
kemerosotan dunia pendidikan kita sekarang ini.
Sebenarnya tatanan sistem pendidikan
di dayah-dayah bisa dijadikan sebuah tolak ukur sebuah keberhasilan dalam
mendidik manusia berilmu dan beramal cerdas. Sitem pendidikan dayah kiranya perlu
diterapkan di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Yang mana memisahkan
anatara laki-laki dengan perempuan dalam berpendidikannya. Seperti memisahkan
tempat belajar santri yang mana dengan demikian para santri laki-laki maupun
santri perempuan akan lebih fokus untuk belajar dikarenakan fokus utama mereka
adalah belajar bukan fokus kepada para perempuan saling memandang dan menatap.
Memisahkan di sini dapat ada dan
diterapkan pada pemisahan gedung belajar anatara siswa dengan siswi. Tak hanya
sarana gedung yang perlu kiranya dipisahkan sebenarnya, tapi ketika mereka
berangkat ke sekolah pun dengan berbagai jenis transportasi umum, semisal
angkot, bus sekolah maupun jenis alat trasnporatsi lainnya. Pemerintah perlu
menentukan bus mana yang dikhususkan untuk siswa dan bus mana yang untuk siswi.
Jadi, mereka tidak sama-sama berbaur dalam satu alat transportasi manapun. Bila
ini tidak diterapkan maka tunggu saja aksi pelecehan seksual terhadap siswa
perempuan. Inikan hal yang tidak diinginkan oleh siswa perempuan manapun di
dunia ini, kecuali memang dia sendiri sudah nakal. Kan menjaga kehormatan.
Maka, wahai perempuan selama hal itu masih tertanam dengan benar pada diri
kalian jangan kalian gunakan hal tersebut untuk merusakkan dirimu sendiri hanya
untuk kepentingan sesaat saja. Pakaian yang kalian gunakan pun mencerminkan
pribadi kalian terhadap sisi sosial maupun agama yang kita anut. Mengenai
pakaian ini sangat afdhal bila penerapannya seirama dengan dendangan anjuran
syariah islam. Ketika pakaian seragam sekolah terkesan terbuka, maka akan
menghilangkan sedikit banyak konsentrasi laki-laki menurun. Inilah efek yang
menyebabkan akhir-akhir ini siswa laki-laki di sekolah sedikit menurun sistem
prestasi belajarnya. Seperti halnya dengan penggunaan pakaian olah raga bagi
siswa perempuan haruslah sesuai dengan tatanan aturan menutup aurat yang islami.
Karena sekarang ini yang terjadi adalah para siswi disuruh tetap memakai
pakaian olah raga tersebut seperti celana panjang yang menampakkan lekuk indah
tubuh mereka. Bayangkan saja apa yang dirasakan oleh para guru laki-laki
khususnya guru olahraga tersebut. Apalagi kalau bapak guru tersebut masih
berstatus lajang. Memungkinkan si bapak
guru tersebut merasakan sesuatu hal ikhwal yang tak ingin dia rasakan
terhadap siswi-siswinya, namun rasa-rasanya hal itu tak terpungkiri lagi. Nah,
ini yang terlampau miris yang sedang
terjadi pada dunia pendidikan kita. Ini tak boleh menunjukkan sebagai sebuah
mega sinetron yang bersambung yang memperlihatkan episode sebelumnya.
Pendidikan seperti ini tidak memungkinkan lagi untuk kita perjuangkan dan
laksanakan yang telah aslinya merusak citra seorang muslimah kita. Para siswi
haruslah sudah sadar benar posisinya sekarang dan jenis kelamin apa yang telah ditakdirkan pada
dirinya.
Pendidikan di dayah mengupayakan
menjadikan pedoman pendidikan yang islami. Dimana para santri-santri diajarkan
berbagai keahlian baik ilmu tauhid, fiqih, tasawuf dan bahkan sebagian dayah
telah menerapkan pendidikan umum bagi penyesuaian dengan zaman globalisasi. Merujuk
pada salah satu hadist Rasulullah yang intinya adalah kita harus mengajarkan
anak didik kita sesuai dengan zaman dia hidup, bukan mengajarkan mereka dengan
pada zaman kita belajar sebelumnya. Tingkatan zaman kan berbeda. Ada aturan
berlakunya dan penempatan intelektualitas seorang anak didik. Mereka akan
menjadi pemimpin-pemimpin muda ke depannya yang mengajak manusia kepada
kemaslahatan masyarakat luas. Santri-santri akan sangat segan kepada Teungku mereka. Ketimbang dengan para
siswa, gurunya malah dijadikan sebagai
lawan bukan kawan sebagai mitra dalam proses belajar. Santri-santri segenap
mematuhi perintah dari pendidiknya. Bila pun salah mereka tetap akan dikenakan
sanksi-sanksi yang menjadikan mereka lebih giat dan disiplin belajar. Bukan tidak
mungkin bila para santri menerima beberapa cubitan dan pukulan dengan rotan
yang di belah sampai tujuh. Hal ini menjadikan mereka lebih termotivasi untuk
belajar dan akan tertanam bahwa setiap kesalahan harus dipertanggungjawabkan
kelak. Siswa-siswi pada zaman ini mungkin tidak pernah mendapat hal yang serupa
yang dirasakan para santri. Bila pun ini terjadi katanya akan berhadapan dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), katanya demikian.
Padahal
kita telah dirusak oleh untuk membiarkan kebiadaban terjadi pada siswa-siswi
kita. Tanpa adanya sanksi demikian seorang siswa tidak akan mampu menangkap
dengan mudah suatu ilmu. Walaupun bisa, eksistensi hormat siswa kepada guru
telah berkurang dari semestinya. Maka dari itu tidaklah salah bila siswa
mendapat hukuman terhadap kesalahan yang di perbuatnya. Namun seorang guru
tidaklah boleh menjadi “Gubo” (Guru Bogem). Yang prioritasnya adalah menghukum
siswa di dalam ketidaksadarannya yang menggunakan amarahnya kepada arah yang
merusak jati diri siswa, guru harus menghukumnya dengan takaran yang seadanya
dan tanpa amarah yang melonjak. Gunakan hukuman tersebut sebagai pondasi awal
pada terbentuknya sikap bahwa apa yag telah dilakukannya adalah salah dan dia
harus mengambil hikmah dari setiap kesalahannya itu. penerapan yang dilaklukan
di dayah-dayah adalah demikian. Mereka (santri) pun merasakan efek terhadap
hukuman tersebut dan suatu saat santri yang berada di masyarakat akan ingat
bahwa karena hukuman dia mampu menjadi dirinya sekarang ini, ilmu yng telah di
dapatnya dapat tersimpan dengan baik karena hukuman tadi. Motivasinya untuk
menjadi lebih baik akan segera terekam setelah dia mendapat hukuman. Nah, hal
inilah yang masih diragukan diterapkan di sekolah.
Pemfasilitasian
tempat mengaji di dayah-dayah adalah di gunakan sistem ruang terbuka. Ini
dimaksudkan agar pemikiran santri lebih paham betul apa yang sedang diajarkan
oleh pendidiknya. Tidak tertutup seperti berada dalam sebuah gedung sekolah.
Baik memang menggunakan sebuah gedung. Tapi, keharusannya adalah sekolah harus
menerapkan sistem belajar terbuka lebih banyak dari yang sebelumnya. Bahkan ada
sekolah yang tidak menerapkan sistem belajar di alam bebas seperti ini. Ini
semua dipengaruhi oleh cara pandang kita dalam menerjemahkan pembelajaran, bila
dalam ruang tertutup melulu, maka akan ada rasa kejenuhan yang berakibat tidak
etis pada kemalasan siswa dalam pendengaran suatu pelajaran. Maka inilah yang
perlu ada dan eksis di pendidikan kita.
Dayah
tradisional memang tidak menjadikan pelajaran umum sebagai tongkat estafet
pertama. Ada yang hanya terfokus pada masalah keagamaan saja. Bukan berarti
sekolah itu tidak penting. Aslinya adalah keterpaduan antara duniawi dan
ukhrawi, itu saja. Sekarang dayah telah membuka diri untuk memberikan
kelonggaran berpedindikan
bagi santri-santri. Yaitu memberikan mereka untuk bersekolah di pagi hari
sampai siangnya. Setelahnya mereka kembali lagi sebagai santri. Ini tuntutan
zaman. Pendidikan mengajak kita kepada arah pembenaran bukan arah pembohongan.
Keingintahuan kita inilah yang menjadikan pedidikan dibutuhkan oleh manusia.
Pendidikan mendorong kita untuk bersikap bersih bukan dengan kekotoran. Karena
kekotoran inilah timbulnya pendidikan untuk menjadikan manusia kepada arah yang
lebih bersih. Islam mengajarkan kepada kita keterpaduan ilmu dunia tanpa
melupakan yang akhiratnya. Ilmu di dunia kita gunakan di dunia saja, tapi ilmu akhirat
dapat kita gunakan di dunia maupun di akhirat. Sekolah perlu melirik penerapan
pembelajaran yang diterapkan di dayah-dayah. Ini bukanlah suatu hal yang perlu
ditakuti. Demi tercapainya umat manusia yang insani dan sadar betul tentang
kehadirannya di muka bumi ini untuk apa. Sekarang tinggal kita saja mau berubah,
maka mari mencoba untuk berubah ke arah tuntunan yang baik. Kalau tidak, maka
selamanya kita akan terkungkung dan terjajah dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini.
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar